Daftar Isi

Job Performance Model: Definisi, Dimensi, & Teorinya

Daftar Isi
Terima insight SDM terbaru, langsung via email mingguan
Newsletter

Dengan klik tombol Berlangganan, saya menyetujui untuk menerima email berita dan pemberitahuan dari Magnet Solusi Integra.

Ikuti akun media sosial resmi Magnet Solusi Integra
job performance model

Kinerja atau job performance adalah salah satu aspek yang sering menjadi sorotan di dunia kerja, terutama oleh HRD dan manajer.

Sebuah perusahaan yang ingin berkembang tentunya harus memastikan bahwa karyawan mereka memiliki kinerja yang baik.

Oleh karena itu, penting untuk memiliki pemahaman yang jelas tentang bagaimana menilai kinerja karyawan, serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penilaian tersebut.

Di sinilah Job Performance Model memainkan peran penting.

Job Performance Model bukanlah suatu konsep yang datang tiba-tiba.

Model ini berakar pada teori-teori psikologi kerja yang sudah ada sejak lama.

Tujuan utama dari adanya model ini adalah untuk memberikan kerangka kerja yang sistematis dalam menilai kinerja karyawan.

Dengan menggunakan model ini, perusahaan bisa lebih objektif dan terstruktur dalam melakukan evaluasi terhadap karyawan mereka.

Ini akan berdampak pada pengembangan individu karyawan serta peningkatan kualitas dan produktivitas perusahaan secara keseluruhan.

Baca Juga: Ketahui 10+ Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Karyawan

job performance model

Apa Itu Job Performance Model?

Pada dasarnya, Job Performance Model merujuk pada cara-cara untuk mengevaluasi seberapa baik seseorang dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan yang diberikan.

Model ini mencakup berbagai dimensi dan indikator yang harus diperhatikan saat melakukan penilaian terhadap kinerja.

Kinerja yang baik tidak hanya dilihat dari hasil akhir saja, tetapi juga dari proses dan cara seseorang menjalankan tugasnya.

Beberapa model kinerja yang populer berasal dari teori-teori psikologi industri dan organisasi.

Salah satu yang paling banyak diterima adalah model yang dikembangkan oleh Campbell pada tahun 1990-an.

Campbell mengemukakan bahwa kinerja kerja dapat dilihat dari empat dimensi utama yang harus diperhatikan, yaitu: kemampuan individu, motivasi, kesempatan untuk berprestasi, dan ketergantungan pada pekerjaan itu sendiri.

Namun, ada banyak model yang berfokus pada beragam aspek pekerjaan yang lebih rinci dan spesifik.

Job Performance Model membantu perusahaan untuk mengidentifikasi apa yang perlu ditingkatkan, serta memberikan panduan bagi karyawan dalam meningkatkan kinerja mereka.

Dimensi-Dimensi dalam Job Performance Model

Untuk memahami lebih dalam, mari kita bahas beberapa dimensi utama yang sering digunakan dalam Job Performance Model.

Pemahaman yang baik terhadap dimensi-dimensi ini akan membantu HRD atau manajer dalam menilai dan memberi feedback yang konstruktif kepada karyawan.

1. Kuantitas Pekerjaan

Salah satu indikator yang paling sering digunakan untuk menilai kinerja karyawan adalah kuantitas pekerjaan.

Ini mengukur seberapa banyak tugas yang dapat diselesaikan oleh seorang karyawan dalam periode tertentu.

Kualitas dan kuantitas tentu saja tidak bisa dipisahkan.

Terlalu fokus pada kuantitas tanpa memperhatikan kualitas dapat merugikan perusahaan, sementara terlalu menekankan pada kualitas tanpa memperhatikan kuantitas juga akan menghambat produktivitas.

Penting untuk mencatat bahwa kuantitas bukan hanya masalah volume pekerjaan, tapi juga melibatkan seberapa cepat seseorang dapat menyelesaikan pekerjaan dengan efisien.

Misalnya, seorang karyawan yang mampu menyelesaikan proyek dalam waktu yang lebih singkat dengan kualitas yang tetap terjaga akan mendapatkan penilaian yang lebih baik dibandingkan mereka yang memerlukan waktu lebih lama meski hasilnya hampir sama.

2. Kualitas Pekerjaan

Selain kuantitas, kualitas pekerjaan menjadi aspek yang tak kalah penting dalam menilai kinerja.

Dimensi ini mengukur sejauh mana hasil kerja memenuhi standar atau ekspektasi yang telah ditetapkan.

Kualitas pekerjaan tidak hanya mencakup ketepatan hasil akhir, tetapi juga apakah pekerjaan tersebut bebas dari kesalahan, sesuai dengan kebutuhan atau permintaan, serta seberapa inovatif karyawan dalam menyelesaikan tugas.

Kualitas ini sering kali melibatkan pemahaman terhadap detail dan kemampuan untuk menyelesaikan masalah dengan solusi yang efektif.

Karyawan yang mampu memberikan solusi kreatif, mengatasi hambatan, dan mencapai standar kerja dengan presisi sering kali menjadi sorotan dalam penilaian kinerja.

3. Kehadiran dan Ketepatan Waktu

Aspek lain yang cukup sederhana namun esensial adalah kehadiran dan ketepatan waktu.

Meskipun tidak selalu menjadi indikator langsung dari kemampuan atau keahlian karyawan, kehadiran yang baik dan ketepatan waktu adalah bagian dari etos kerja yang sangat berpengaruh.

Seorang karyawan yang selalu hadir tepat waktu menunjukkan tanggung jawab dan kedisiplinan dalam menjalankan tugas.

Namun, penting untuk dipahami bahwa kehadiran bukan hanya soal berada di tempat kerja, tetapi juga berhubungan dengan tingkat komitmen seseorang terhadap tugas yang diberikan.

Karyawan yang selalu hadir namun kurang berkomitmen dalam pekerjaannya tentu akan berbeda dengan mereka yang mungkin lebih jarang hadir, namun kehadiran mereka selalu penuh dedikasi dan menghasilkan pekerjaan yang lebih berkualitas.

4. Kemampuan Beradaptasi dan Kolaborasi

Di dunia kerja yang dinamis seperti sekarang ini, kemampuan untuk beradaptasi dan berkolaborasi dalam tim sangat penting.

Dimensi ini mengukur seberapa baik seorang karyawan dapat bekerja dalam lingkungan yang berubah-ubah, serta sejauh mana mereka mampu berkolaborasi dengan tim.

Pekerjaan yang membutuhkan kerjasama antar tim, terutama di perusahaan besar, menjadikan kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik dan bekerja sama menjadi aspek yang sangat diperhatikan.

5. Komitmen terhadap Pekerjaan dan Organisasi

Komitmen juga menjadi bagian dari penilaian kinerja yang penting.

Seorang karyawan yang memiliki rasa tanggung jawab terhadap pekerjaannya dan terhadap tujuan perusahaan cenderung memiliki kinerja yang lebih tinggi.

Komitmen terhadap pekerjaan mencakup dedikasi untuk menyelesaikan tugas, serta kesediaan untuk menghadapi tantangan demi mencapai tujuan perusahaan.

Sementara komitmen terhadap organisasi lebih fokus pada rasa loyalitas dan keterlibatan dalam budaya serta nilai-nilai perusahaan.

Baca Juga: Bagaimana Peranan Karyawan Menilai Diri Sendiri?

Teori-Teori yang Mendukung Job Performance Model

Untuk memahami lebih dalam mengenai Job Performance Model, penting untuk mengeksplorasi beberapa teori yang menjadi dasar atau landasan dari model ini.

Teori-teori ini memberikan wawasan tentang bagaimana kinerja karyawan bisa dinilai secara lebih sistematis dan terstruktur.

Beberapa teori kunci dalam psikologi industri dan organisasi sangat berperan dalam membentuk pemahaman tentang kinerja kerja, dan model penilaian yang berkembang saat ini.

Mari kita bahas beberapa teori yang paling berpengaruh.

1. Teori Campbell tentang Dimensi Kinerja

Teori Campbell yang dikembangkan oleh John P. Campbell pada awal 1990-an adalah salah satu teori yang paling banyak digunakan dalam penelitian dan pengembangan model kinerja.

Dalam teorinya, Campbell mengidentifikasi delapan dimensi kinerja yang esensial, yang mencakup faktor-faktor seperti kemampuan teknis, keterampilan interpersonal, komitmen terhadap pekerjaan, serta ketepatan dalam menyelesaikan tugas.

Dimensi-dimensi ini dianggap sebagai fondasi utama dalam menilai kinerja seseorang dalam berbagai jenis pekerjaan.

Teori Campbell sangat berfokus pada pengaruh faktor-faktor individu terhadap kinerja kerja.

Salah satu aspek penting yang ditekankan adalah bahwa kinerja tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuan teknis, tetapi juga oleh faktor psikologis seperti motivasional dan kepribadian.

Dalam konteks Job Performance Model, teori ini membantu perusahaan dalam mengevaluasi kinerja karyawan dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang lebih holistik, tidak hanya terbatas pada hasil kerja yang tampak.

2. Teori Keterampilan dan Kompetensi (Skills and Competency Theory)

Teori ini lebih menekankan pada kemampuan atau kompetensi yang dimiliki oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya.

Menurut teori ini, kinerja karyawan bergantung pada dua hal utama: keterampilan yang mereka miliki dan kompetensi dalam mengaplikasikan keterampilan tersebut dalam konteks pekerjaan sehari-hari.

Keterampilan ini mencakup berbagai kemampuan, mulai dari keterampilan teknis yang spesifik untuk pekerjaan tertentu, hingga keterampilan interpersonal yang dibutuhkan untuk bekerja dalam tim.

Kompetensi, di sisi lain, mengacu pada kemampuan untuk menerapkan keterampilan tersebut secara efektif dalam lingkungan kerja yang dinamis.

Dengan menggunakan teori ini, Job Performance Model memberikan kerangka kerja yang jelas mengenai kompetensi yang perlu dimiliki karyawan untuk mencapai hasil kerja yang optimal.

3. Teori Motivasi: Teori Dua Faktor Herzberg

Teori Herzberg, atau yang lebih dikenal dengan Teori Dua Faktor (Two-Factor Theory), memiliki pengaruh besar dalam pengembangan Job Performance Model.

Herzberg mengidentifikasi dua faktor yang mempengaruhi kepuasan dan kinerja kerja seseorang: faktor motivator dan faktor higiene.

Faktor motivator, seperti pencapaian, pengakuan, dan tanggung jawab, cenderung meningkatkan kepuasan kerja dan mendorong karyawan untuk berprestasi lebih tinggi.

Sementara itu, faktor higiene seperti gaji, kondisi kerja, dan hubungan dengan rekan kerja berfungsi untuk mencegah ketidakpuasan, tetapi tidak langsung meningkatkan kinerja.

Teori ini membantu membangun pemahaman dalam model kinerja bahwa motivasi intrinsik dan ekstrinsik memainkan peran penting dalam hasil kerja seorang karyawan.

Motivasi intrinsik yang tinggi, seperti rasa bangga terhadap pekerjaan dan pencapaian, cenderung mendorong karyawan untuk bekerja lebih keras dan lebih baik.

Sementara faktor-faktor eksternal, seperti gaji yang memadai dan lingkungan kerja yang baik, memastikan bahwa karyawan tidak merasa terhambat dalam mencapai kinerja terbaik mereka.

4. Teori Expectancy (Harapan) oleh Victor Vroom

Teori Expectancy yang dikemukakan oleh Victor Vroom menjelaskan bagaimana karyawan memprediksi hasil dari usaha yang mereka lakukan.

Teori ini berfokus pada hubungan antara upaya, kinerja, dan hasil.

Vroom berpendapat bahwa karyawan akan berusaha lebih keras jika mereka yakin bahwa usaha tersebut akan membawa mereka pada hasil yang diinginkan.

Tiga variabel utama dalam teori ini adalah:

  • Valensi: Seberapa bernilai hasil yang diharapkan bagi individu.
  • Harapan (Expectancy): Sejauh mana individu yakin bahwa usaha mereka akan menghasilkan kinerja yang baik.
  • Instrumentalisasi: Sejauh mana individu percaya bahwa kinerja yang baik akan menghasilkan imbalan yang diinginkan.

Dalam Job Performance Model, teori Expectancy membantu menjelaskan mengapa karyawan dengan harapan yang realistis tentang pencapaian tujuan mereka cenderung memiliki kinerja yang lebih baik.

Motivasi dan ekspektasi yang realistis sangat mempengaruhi seberapa keras usaha yang dilakukan karyawan untuk mencapai tujuan perusahaan.

5. Teori Penilaian Kinerja oleh Locke dan Latham

Teori ini, yang dikembangkan oleh Edwin A. Locke dan Gary P. Latham, berfokus pada bagaimana tujuan yang ditetapkan dapat mempengaruhi kinerja karyawan. M

ereka berpendapat bahwa tujuan yang jelas dan terukur dapat meningkatkan motivasi dan kinerja seseorang.

Penelitian yang mereka lakukan menunjukkan bahwa karyawan yang diberi tujuan yang spesifik dan menantang cenderung berprestasi lebih tinggi daripada mereka yang diberikan tujuan yang terlalu umum atau mudah dicapai.

Teori ini sangat relevan dalam konteks Job Performance Model karena memberikan wawasan mengenai pentingnya penetapan tujuan yang jelas dan terukur untuk memandu kinerja karyawan.

Hal ini membantu HRD atau manajer dalam merancang sistem penilaian kinerja yang tidak hanya berfokus pada hasil, tetapi juga pada proses pencapaian tujuan yang bisa dipantau dan dievaluasi secara objektif.

6. Teori Social Cognitive (Bandura)

Teori Social Cognitive yang dipopulerkan oleh Albert Bandura menekankan pentingnya belajar sosial dan pengaruh pengamatan terhadap perilaku.

Bandura berpendapat bahwa karyawan belajar tidak hanya dari pengalaman langsung mereka, tetapi juga melalui pengamatan terhadap rekan kerja atau atasan mereka.

Ini berarti bahwa kinerja karyawan bisa dipengaruhi oleh model peran yang ada di tempat kerja, serta kemampuan mereka untuk mengamati dan meniru perilaku yang dianggap sukses.

Teori ini menjelaskan pentingnya lingkungan kerja yang mendukung dan budaya organisasi yang memotivasi karyawan untuk terus berkembang dan belajar.

Dalam konteks Job Performance Model, hal ini menunjukkan bahwa karyawan yang berada dalam lingkungan yang mendukung dan memberi kesempatan untuk berkembang cenderung memiliki kinerja yang lebih baik.

Selain itu, pembelajaran sosial juga dapat meningkatkan keterampilan interpersonal yang esensial untuk kerja tim yang efektif.

job performance model

Mengapa Job Performance Model Penting untuk Perusahaan?

Penggunaan Job Performance Model dalam perusahaan memiliki berbagai keuntungan.

Salah satunya adalah memberikan kejelasan bagi pihak manajemen dalam menilai kinerja karyawan secara objektif.

Tanpa kerangka kerja yang jelas, penilaian kinerja bisa jadi terkesan subjektif, yang akhirnya bisa menyebabkan ketidakadilan dan ketidakpuasan di kalangan karyawan.

Selain itu, dengan adanya model ini, perusahaan dapat memberikan feedback yang konstruktif kepada karyawan.

Hal ini sangat penting untuk pengembangan karir karyawan, karena mereka dapat memahami dengan lebih jelas area-area mana yang perlu mereka perbaiki.

Di sisi lain, karyawan yang merasa dihargai melalui penilaian yang adil cenderung lebih termotivasi untuk meningkatkan kinerjanya.

Tak hanya itu, Job Performance Model juga menjadi alat yang efektif untuk perencanaan karir dan pengembangan organisasi.

Dengan adanya penilaian yang terstruktur dan berbasis data, perusahaan bisa lebih mudah dalam merencanakan pelatihan, promosi, serta pengembangan keterampilan yang dibutuhkan di masa depan.

Model ini juga memberikan informasi yang berguna untuk proses rekruitmen dan seleksi, sehingga perusahaan dapat memilih kandidat yang paling sesuai dengan kebutuhan organisasi.

Picture of Dra. I. Novianingtyastuti, M.M., Psikolog  <strong>CEO</strong>
Dra. I. Novianingtyastuti, M.M., Psikolog CEO

Praktisi HR dengan pengalaman lebih dari 20+ tahun di bidang rekrutmen dan pengembangan SDM.

Artikel terbaru

#ElevatingPeopleEmpoweringBusiness

Konsultasi HR yang Tepat Sekarang, Gratis!

Bangun sistem SDM yang efektif, adil, dan berdampak bersama tim konsultan berpengalaman dari Magnet Solusi Integra.

Atau booking meeting gratis via Form Booking Meeting