Pernah pada masanya sebuah perusahaan manufaktur besar di kawasan industri Karawang membuka lowongan untuk posisi supervisor produksi. Biasa saja sebenarnya, posisi ini lebih ke operasional harian, mengatur ritme kerja tim, memastikan target produksi tercapai, dan melaporkan bila ada deviasi. Tapi yang mengejutkan adalah, dari ratusan pelamar, ada satu CV yang membuat HR berhenti menggulirkan mouse.
Latar belakangnya bukan main. Mantan manajer produksi di perusahaan multinasional. Sarjana teknik industri dari kampus negeri ternama. Pengalaman kerja 15 tahun. Fasih bahasa Inggris. Pernah jadi pembicara di konferensi regional. Tapi… yang dilamar justru posisi supervisor.
Refleks pertama HR adalah curiga. “Kenapa orang sehebat ini melamar posisi ‘biasa’ seperti ini?”
Refleks kedua adalah defensif. “Nanti dia cepat bosan.”
Refleks ketiga, kadang lebih jujur: “Kita belum siap punya orang kayak begini.”
Akhirnya, sang kandidat tidak diproses. Alasannya sederhana tapi terasa ironis: overqualified.
Baca Juga: Apa Teknik Rekrutmen Berbasis Kompetensi?

Apa Itu Overqualified?
Di dunia SDM, “overqualified” adalah kata yang punya dua sisi. Di satu sisi, ia terdengar seperti pujian seolah mengatakan bahwa seseorang terlalu bagus untuk pekerjaan itu. Tapi di sisi lain, ia sering dipakai sebagai penolakan halus. Semacam cara elegan untuk bilang, “Maaf, kami tidak tahu bagaimana mengelola orang sepertimu.”
Bagi sebagian HR, kandidat overqualified seperti pisau bermata dua. Di satu sisi, mereka bisa membawa peningkatan signifikan. Di sisi lain, mereka bisa merusak harmoni yang sudah terbangun. Risiko, kata sebagian orang.
Tapi bukankah semua rekrutmen itu berisiko? Bahkan mempekerjakan yang “underqualified” pun jauh lebih berbahaya. Tapi anehnya, keputusan-keputusan HR seringkali lebih nyaman menerima yang kurang, daripada menghadapi yang terlalu lebih.
Ketakutan Diam-Diam di Balik Label Overqualified
1. Turnover yang Tinggi
Salah satu kekhawatiran utama HR terhadap kandidat overqualified adalah kemungkinan besar mereka akan segera pergi. Bukan karena mereka tidak mampu bertahan, tapi karena posisi yang ditawarkan memang terlalu “sempit” untuk ambisi atau kebutuhan mereka. Ketika seseorang yang sudah biasa memimpin tim besar harus mengurusi hal-hal teknis rutin, ada kemungkinan besar ia akan merasa jenuh lebih cepat.
HR tahu, tidak mudah mempertahankan seseorang yang punya kapasitas lebih, tapi ditempatkan di posisi yang tidak memberikan ruang untuk bertumbuh. Mereka mungkin terlihat baik-baik saja dalam beberapa minggu atau bulan pertama, tapi begitu datang tawaran yang lebih menjanjikan entah dari segi posisi, gaji, atau tantangan mereka akan segera melangkah pergi. Dan perusahaan pun kembali harus memulai dari awal.
Biaya dari turnover ini tidak kecil. Selain waktu dan uang untuk rekrutmen baru, ada biaya emosional dan produktivitas tim yang ikut terganggu. Rekan kerja kehilangan teman, supervisor harus melatih orang baru lagi, dan stabilitas kerja menjadi terganggu. Itulah mengapa HR sangat berhati-hati saat memutuskan apakah kandidat overqualified bisa bertahan atau tidak.
2. Ketidaksesuaian Budaya dan Hierarki
Masalah berikutnya yang sering mengganggu HR adalah potensi ketidaksesuaian budaya kerja. Seorang kandidat overqualified, apalagi yang terbiasa bekerja di level tinggi, bisa saja kesulitan beradaptasi dengan ritme, aturan informal, atau gaya komunikasi di level yang lebih rendah. Bukan karena mereka sombong, tapi karena sudah terbentuk dalam pola kerja yang berbeda.
Bayangkan seseorang yang terbiasa mengambil keputusan strategis, kini harus menunggu arahan dari supervisor yang jauh lebih muda atau kurang berpengalaman. Bisa terjadi ketegangan. Kadang halus, kadang kentara. Bahkan jika sang kandidat berkata siap beradaptasi, sering kali ego profesional mereka tetap muncul dalam interaksi harian. Di titik ini, HR harus siap menjadi “penjaga keseimbangan” agar tidak terjadi gesekan internal.
Ketidaksesuaian budaya bisa merusak kohesi tim. Rekan kerja lain mungkin merasa terintimidasi, atau justru tidak nyaman karena merasa selalu diawasi oleh seseorang yang dianggap lebih senior. Dan bila tidak dikelola dengan baik, ketidaksesuaian ini akan tumbuh menjadi konflik yang mempengaruhi kinerja tim secara keseluruhan.
3. Gaji dan Ekspektasi yang Tidak Sinkron
Ada juga soal gaji. Kandidat overqualified sering kali menyatakan siap menerima gaji di bawah standar mereka. Tapi HR tahu, di balik itu bisa saja tersimpan rasa tidak puas yang akan muncul nanti. Karena ketika seseorang yang punya kompetensi tinggi diberi gaji setara pemula, cepat atau lambat ia akan mempertanyakan nilai dirinya dalam organisasi.
Lebih dari sekadar angka, gaji adalah simbol pengakuan. Dan ketika pengakuan itu terasa kurang, kepercayaan diri bisa terganggu. Dalam jangka panjang, ketidakpuasan terhadap gaji bisa menjadi akar dari burnout, demotivasi, bahkan pengunduran diri diam-diam. HR tahu bahwa risiko ini tidak selalu muncul di awal, tapi bisa meledak kapan saja.
Inilah mengapa banyak HR memilih untuk menghindari kandidat overqualified meski mereka bisa saja membantu perusahaan melesat lebih cepat. Karena ekspektasi yang tidak selaras soal kompensasi bisa menjadi benih konflik yang tersembunyi.
Baca Juga: Tes Rekrutmen: Jenis, Tujuan, dan Tips Menghadapinya!
Strategi HR dalam Mengelola Kandidat Overqualified
1. Memahami Motivasi
Hal pertama yang perlu dilakukan HR adalah berhenti berasumsi. Jangan langsung menilai bahwa kandidat overqualified pasti akan bosan atau cepat pergi. Justru tanyakan secara terbuka: “Apa yang membuat Anda tertarik pada posisi ini?”, “Bagaimana posisi ini cocok dalam rencana karier Anda ke depan?”
Mendengarkan dengan empati, bukan sekadar mencatat jawaban, akan membuka banyak ruang pemahaman. Beberapa kandidat memang ingin hidup lebih tenang, menghindari stres manajerial, atau mencari pekerjaan yang lebih mendukung kesehatan mental mereka. Jika alasan mereka tulus dan realistis, HR bisa mempertimbangkan dengan lebih objektif.
2. Gunakan Assessment untuk Mengukur Kesiapan Psikologis
HR dapat menggunakan alat ukur psikologis, seperti motivation inventory atau job fit assessment, untuk melihat seberapa besar kecocokan antara kandidat dan posisi yang dilamar. Alat ini membantu menghindari keputusan subjektif dan memberi data yang lebih komprehensif.
Jika hasil menunjukkan bahwa kandidat memang punya motivasi yang stabil dan cocok dengan tantangan posisi yang ditawarkan, maka status overqualified tidak perlu dikhawatirkan. Namun, jika muncul indikasi bahwa kandidat hanya menjadikan posisi ini sebagai “jembatan sementara”, maka HR bisa berdiskusi lebih lanjut untuk menemukan solusi atau alternatif yang lebih tepat.
3. Komunikasi Terbuka Soal Ekspektasi dan Batasan
Sebelum membuat penawaran, HR sebaiknya menjelaskan dengan gamblang tentang batasan posisi: tidak ada promosi dalam 12 bulan, struktur hierarki yang baku, atau besaran gaji yang memang tidak bisa dinegosiasikan. Transparansi ini penting agar tidak ada miskomunikasi di kemudian hari.
Bila kandidat tetap tertarik, maka komitmen yang dihasilkan akan lebih kuat. Tapi bila ia mengundurkan diri, maka HR justru terhindar dari potensi masalah jangka panjang.
4. Ciptakan Skema Penempatan Khusus atau Proyek Temporer
Jika HR menemukan kandidat yang terlalu berharga untuk dilepas tapi tidak cocok dengan posisi yang tersedia, pertimbangkan untuk menawarkannya peran sebagai konsultan internal, project leader sementara, atau mentor bagi tim yang lebih muda.
Ini adalah bentuk penempatan yang fleksibel dan strategis. Kandidat tetap bisa berkontribusi sesuai kapasitasnya, dan organisasi mendapatkan manfaat maksimal dari pengalamannya tanpa harus memaksanya masuk ke dalam struktur yang kaku dan tidak sesuai.
5. Buat Rencana Retensi yang Khusus
Kandidat overqualified perlu pendekatan retensi yang berbeda. Jika mereka tetap direkrut, maka HR harus menyiapkan rencana retensi yang disesuaikan: bisa berupa tantangan tambahan, pelibatan dalam inisiatif lintas fungsi, atau keterlibatan dalam pengembangan strategi internal.
Jangan biarkan mereka “terlalu idle”. Talenta besar butuh ruang gerak. Dan HR harus menjadi fasilitator ruang itu bukan sekadar penjaga sistem.
Solusi Untuk HR Dalam Situasi Overqualified
1. Wawancara yang Lebih Dalam
Cara paling sederhana, tapi juga paling penting, adalah melakukan wawancara yang lebih mendalam. Tidak sekadar bertanya soal pengalaman atau keahlian, tapi menggali niat, motivasi, dan kesiapan psikologis kandidat untuk bekerja di level yang lebih rendah dari yang biasa ia tempati.
Pertanyaan seperti “Apa yang membuat Anda tertarik pada posisi ini?” atau “Bagaimana Anda melihat peran ini dalam konteks karier Anda ke depan?” bisa memberi insight besar pada HR untuk membaca kesungguhan. Jangan puas dengan jawaban normatif. HR yang berpengalaman akan tahu membedakan mana jawaban yang jujur dan mana yang hanya ingin menyenangkan pewawancara.
2. Perjanjian yang Transparan
Setelah merasa cocok, jangan buru-buru memberi penawaran. Pastikan semua hal disepakati dengan transparan: mulai dari job description, target kerja, sistem evaluasi, hingga kemungkinan promosi. Jangan beri harapan palsu. Jika posisi ini memang tidak akan naik dalam dua tahun ke depan, sampaikan sejak awal. Biarkan kandidat memilih dengan sadar.
Transparansi seperti ini akan memperkuat komitmen dua arah. Kandidat merasa dihargai karena diberi gambaran yang jujur. Dan perusahaan terhindar dari kekecewaan karena ekspektasi yang terlalu tinggi. Hubungan profesional yang sehat dibangun bukan dari janji manis, tapi dari kejelasan sejak awal.
3. Penempatan yang Fleksibel
Dan kadang, solusi terbaik adalah mencari jalan tengah. Jika kandidat terlalu besar untuk posisi yang dilamar, tapi terlalu bagus untuk dilepas, HR bisa menawarkan alternatif. Mungkin proyek khusus. Mungkin posisi lintas fungsi. Atau bahkan menjadi mentor untuk tim yang lebih junior.
Fleksibilitas ini memerlukan HR yang berpikiran terbuka, tidak hanya mengikuti struktur baku. Karena kadang talenta hebat datang bukan sesuai rencana rekrutmen, tapi hadir tiba-tiba dan HR harus cukup lincah untuk memanfaatkannya.
Alasan Adanya Kandidat Overqualified
Tidak semua kandidat overqualified datang karena tidak punya pilihan lain. Banyak dari mereka justru dengan sadar memilih untuk “turun kelas”. Ada yang ingin dekat keluarga setelah bertahun-tahun kerja di luar kota atau luar negeri. Ada yang ingin hidup lebih tenang setelah bertahun-tahun bergelut dalam tekanan manajemen atas. Ada pula yang hanya ingin pekerjaan yang memberi makna, bukan ambisi.
HR perlu membuka mata. Dunia sudah berubah. Karier tidak lagi linear. Banyak orang memilih untuk mengatur ulang prioritas hidupnya. Dan keputusan mereka melamar posisi yang lebih rendah bukan karena gagal, tapi karena sudah tahu apa yang mereka inginkan. Di sinilah HR perlu belajar mendengarkan lebih banyak, daripada menilai terlalu cepat.

Merasa bingung saat harus memutuskan apakah kandidat overqualified layak direkrut?
Anda tidak sendiri. Banyak HR menghadapi dilema serupa takut kehilangan talenta, tapi juga khawatir pada risiko jangka panjang.
Di sinilah Magnet Solusi Integra hadir dengan solusi strategis berbasis data dan pendekatan human-centered, membantu Anda mengelola potensi besar dengan cara yang cermat dan terukur.
Melalui layanan talent mapping, job fit assessment, hingga desain program retensi khusus, kami bantu Anda mengubah kandidat overqualified menjadi aset yang relevan dan tahan lama.
Jangan biarkan kelebihan jadi beban ubah jadi peluang dengan strategi pengelolaan HR yang lebih tajam dan personal. Hubungi kami sekarang untuk konsultasi gratis dan mulai transformasi SDM Anda hari ini.