Daftar Isi

Competency-Based Training: Definisi, Model, & Contoh

Daftar Isi
Terima insight SDM terbaru, langsung via email mingguan
Newsletter

Dengan klik tombol Berlangganan, saya menyetujui untuk menerima email berita dan pemberitahuan dari Magnet Solusi Integra.

Ikuti akun media sosial resmi Magnet Solusi Integra
competency-based training

Munculnya competency based training diawali dengan beberapa faktor.

Di dunia kerja yang makin dinamis, satu hal tetap konsisten: perusahaan butuh orang-orang yang mampu, bukan hanya yang rajin datang pagi dan pulang sore.

Maka mulailah para HR mencari cara agar pelatihan yang mereka adakan tidak cuma sekadar acara formalitas.

Lalu muncullah satu pendekatan yang terus jadi bahan pembicaraan para profesional HR: Competency-Based Training, atau CBT.

Bukan, ini bukan CBT yang versi terapi psikologi itu. Ini CBT-nya HR, yang intinya sederhana: pelatihan berdasarkan kompetensi.

Tapi tentu saja, seperti kebanyakan hal yang terdengar sederhana, implementasinya bisa sangat kompleks dan justru di situlah menariknya.

Baca Juga: Cara Menghitung ROI Pelatihan Karyawan Perusahaan!

competency-based training

Apa Itu Competency-Based Training?

Mari kita mulai dari definisinya dulu, supaya tidak salah kaprah.

Competency-Based Training (CBT) adalah pendekatan pelatihan yang dirancang, dikembangkan, dan dilaksanakan berdasarkan kompetensi yang dibutuhkan oleh seseorang agar mampu menjalankan pekerjaannya dengan efektif.

Artinya, CBT tidak lagi fokus pada “berapa lama pelatihan ini berlangsung” atau “berapa banyak modul yang diselesaikan”.

Yang jadi pusat perhatian adalah: apakah seseorang benar-benar sudah menguasai kemampuan yang dibutuhkan atau belum?

Bayangkan Anda sedang mengajar seseorang naik sepeda. Anda takkan menilainya dari seberapa banyak teori yang ia hafal, atau berapa lama dia belajar.

Yang penting cuma satu: bisa naik sepeda tanpa jatuh. Nah, itulah esensinya CBT.

Filosofi di Balik CBT

Secara filosofis, CBT berdiri di atas prinsip bahwa pembelajaran harus menghasilkan sesuatu yang konkret: peningkatan kompetensi.

Tidak ada ruang untuk pelatihan yang sekadar “menyenangkan” tanpa perubahan perilaku nyata di tempat kerja.

Teori yang banyak digunakan untuk mendasari CBT adalah teori kompetensi dari Boyatzis dan Spencer & Spencer.

Mereka menyatakan bahwa kompetensi adalah karakteristik mendasar dari seseorang yang terkait langsung dengan performa kerja yang superior. Kompetensi ini bisa berupa:

a. Pengetahuan (knowledge),

b. Keterampilan (skills),

c. Sikap dan nilai (attitude and values),

d. Karakteristik pribadi.

Jadi, saat pelatihan berbasis kompetensi, maka yang dikembangkan bukan cuma tahu, tapi bisa dan mau melakukan dengan benar. Itulah mengapa CBT juga sering disebut sebagai “training for performance”.

Baca Juga: Definisi & Pelatihan Leadership Development Program! 

Elemen-Elemen Penting dalam Competency-Based Training

Agar tidak terlalu filosofis, kita masuk ke struktur dasarnya.

CBT punya sejumlah komponen penting yang jadi fondasi agar pelatihan ini bisa tepat sasaran:

1. Kompetensi Inti yang Jelas

CBT selalu dimulai dari daftar kompetensi yang sudah ditetapkan organisasi.

Kompetensi ini bisa teknis (seperti programming, akuntansi, atau desain) atau bisa juga perilaku (seperti kepemimpinan, komunikasi, atau teamwork).

Kompetensi ditetapkan berdasarkan hasil job analysis dan disusun dalam kerangka seperti competency dictionary atau competency model.

2. Assessment Awal

CBT selalu memerlukan pemetaan awal.

Siapa yang sudah punya kompetensi ini, dan siapa yang masih butuh dikembangkan?

Tanpa baseline ini, pelatihan bisa meleset kayak memberi pelatihan berenang ke orang yang sudah juara nasional.

3. Desain Pelatihan yang Spesifik

Di sinilah CBT berbeda. Materi pelatihan bukan berdasarkan “tema umum”, tapi didesain untuk mengisi gap kompetensi tertentu.

Pelatihannya bersifat sangat praktis, berbasis situasi nyata, dan langsung menyasar perubahan perilaku.

4. Evaluasi Berdasarkan Kompetensi

Evaluasinya tidak berhenti di akhir sesi.

CBT menggunakan behavioral indicators untuk melihat: apakah peserta benar-benar menerapkan kompetensi yang dilatih?

Bisa melalui observasi, simulasi, atau bahkan asesmen pasca kerja.

Baca Juga: People Analytics: Definisi, Pelatihan, Tools & Metrik!

Model Competency-Based Training

Competency-Based Training bukan cuma soal “pelatihan yang berbasis kompetensi” secara umum.

Di dalamnya ada sejumlah model dan pendekatan struktural yang sudah teruji digunakan oleh banyak organisasi dan institusi pendidikan vokasi.

Model-model ini berfungsi sebagai kerangka kerja yang membantu HR dan L&D menyusun CBT secara sistematis, mulai dari perencanaan hingga evaluasi.

Berikut beberapa model utama yang paling banyak digunakan:

1. DACUM

Salah satu model yang banyak dipakai di dunia pelatihan vokasi dan teknis adalah DACUM, singkatan dari Developing A Curriculum.

Yang menarik dari DACUM adalah pendekatannya yang sangat membumi. Model ini berangkat dari asumsi bahwa orang yang paling paham isi suatu pekerjaan adalah orang yang menjalankannya setiap hari.

Maka, DACUM selalu melibatkan praktisi berpengalaman dalam sebuah sesi workshop intensif.

Di sana, mereka duduk bersama untuk memetakan tugas-tugas utama dalam pekerjaan mereka, menjabarkan aktivitas harian, hingga merinci keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang dibutuhkan agar pekerjaan itu bisa dilakukan dengan baik.

Hasil akhirnya bukan sekadar daftar pelajaran, tapi blueprint utuh sebuah kurikulum pelatihan yang benar-benar lahir dari kebutuhan nyata di lapangan.

2. CBET

CBET, atau Competency-Based Education and Training, lebih banyak dipakai di institusi pendidikan vokasi seperti politeknik.

Pendekatan ini berangkat dari filosofi yang sederhana tapi kuat: seseorang dianggap selesai belajar bukan karena waktunya sudah habis, tapi karena ia sudah bisa menunjukkan kompetensi yang dibutuhkan.

Dalam CBET, tidak ada batas waktu yang kaku. Peserta pelatihan bisa belajar sesuai kecepatan masing-masing.

Evaluasinya bukan sekadar ujian tertulis, tapi lebih ke demonstrasi nyata atas kemampuan, entah itu lewat simulasi, praktik lapangan, atau uji performa. Jadi, pelatihan benar-benar fokus pada hasil, bukan sekadar proses.

3. Iceberg Model

Model kompetensi yang diperkenalkan oleh Spencer & Spencer ini dikenal dengan nama Iceberg Model.

Sesuai namanya, model ini menggambarkan bahwa kompetensi itu seperti gunung es: bagian yang terlihat seperti pengetahuan dan keterampilan hanyalah permukaannya.

Di bawahnya tersembunyi elemen yang lebih dalam dan justru lebih menentukan, seperti nilai pribadi, sikap kerja, karakter, dan motivasi.

CBT yang baik tidak hanya melatih peserta agar tahu cara kerja mesin atau cara melayani pelanggan, tapi juga membentuk mereka agar punya etika kerja, kepekaan sosial, dan motivasi intrinsik untuk berkembang.

Karena itu, model ini sangat cocok digunakan dalam penyusunan kamus kompetensi dan penyusunan indikator perilaku yang lebih dalam.

4. Australian AQF

Australia adalah salah satu negara yang paling awal dan paling serius mengembangkan Competency-Based Training dalam skala nasional.

Mereka punya sistem yang disebut AQF, atau Australian Qualifications Framework.

Di dalam kerangka ini, setiap kompetensi dijabarkan secara sangat rinci.

Mulai dari elemen kompetensinya, indikator unjuk kerjanya, hingga bukti-bukti yang perlu ditunjukkan agar seseorang bisa dinyatakan kompeten.

Bahkan, konteks aplikasi juga dituliskan secara jelas, agar pelatihan tidak terjebak dalam teori.

CBT berbasis AQF sangat cocok digunakan untuk industri yang padat aturan dan menuntut konsistensi tinggi, seperti manufaktur, layanan kesehatan, hingga perhotelan.

5. NQF dan KKNI

Banyak negara mulai menyadari pentingnya memiliki kerangka nasional untuk kompetensi kerja.

Di Inggris ada NQF, di Afrika Selatan juga. Di Indonesia, kita punya KKNI Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia.

Tujuannya satu: menyelaraskan antara dunia pendidikan, dunia kerja, dan dunia industri. Dengan adanya kerangka seperti KKNI, pelatihan berbasis kompetensi jadi lebih mudah disambungkan dengan jenjang kualifikasi formal.

Seseorang yang sudah menyelesaikan pelatihan berbasis CBT bisa mendapatkan sertifikasi yang diakui secara nasional, bahkan regional.

Ini penting, apalagi ketika kita bicara tentang mobilitas tenaga kerja, penyetaraan kualifikasi, dan perencanaan karier jangka panjang.

Contoh Penerapan CBT di Dunia Nyata

Bayangkan sebuah perusahaan retail besar dengan ratusan toko yang tersebar di seluruh Indonesia.

Mereka sadar bahwa salah satu tantangan terbesar dalam operasional adalah kualitas pelayanan pelanggan yang tidak konsisten.

Di satu toko, pelanggan merasa puas.

Di toko lain, pelanggan mengeluh karena petugas toko tampak cuek, kurang responsif, atau terlalu kaku saat menjawab pertanyaan.

Maka, HR bersama tim Learning & Development memutuskan: saatnya intervensi.

Tapi kali ini, bukan pelatihan standar yang sifatnya general.

Mereka memilih jalur Competency-Based Training, dengan target utama: meningkatkan kompetensi “Customer Orientation” untuk seluruh frontliner toko.

Langkah-langkahnya tidak buru-buru. Justru pelan-pelan tapi dalam.

Bayangkan sebuah perusahaan retail besar, sebut saja PT MegaMart, yang memiliki lebih dari 150 toko tersebar dari kota besar sampai pelosok. Mereka menyadari satu hal krusial yang selama ini luput dari perhatian serius: pelayanan pelanggan yang tidak konsisten.

Di satu toko, pelanggan merasa puas, disambut hangat, dan ditangani cepat. Tapi di toko lain, pelanggan bisa merasa diabaikan, ditatap datar, bahkan diperlakukan seperti pengganggu. HR pun mulai gelisah, karena satu toko saja bisa merusak reputasi seluruh jaringan.

Maka, HR bersama Learning & Development memutuskan untuk bertindak. Mereka tidak ingin lagi melatih sekadar agar peserta duduk manis, pulang bawa sertifikat, lalu kembali bekerja seperti biasa. Kali ini, pendekatan yang diambil sangat berbeda: Competency-Based Training. Target utamanya sangat spesifik, yaitu meningkatkan kompetensi “Customer Orientation” di seluruh jajaran frontliner.

1. Merumuskan Ulang Apa Itu “Customer Orientation”

Langkah pertama adalah duduk bersama para store manager dan supervisor lapangan.

Mereka tidak langsung membuat modul pelatihan, karena yang paling awal dibutuhkan adalah definisi perilaku. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan seseorang yang punya customer orientation?

Ternyata jawabannya tidak sesederhana “ramah” atau “senyum”. Itu semua masih di permukaan.

Yang mereka cari adalah perilaku konkret yang bisa diamati, bisa diajarkan, dan bisa dievaluasi.

Setelah diskusi panjang dan observasi ke berbagai toko, mereka menyepakati bahwa seseorang dianggap punya customer orientation jika mampu menyambut pelanggan tanpa perlu disuruh, mendengarkan dulu sebelum memberi saran, menjelaskan produk dengan bahasa yang membumi, tetap tenang saat menghadapi keluhan, dan punya sikap tanggung jawab terhadap masalah pelanggan.

Kompetensi itu kemudian diterjemahkan menjadi indikator perilaku yang bisa digunakan sebagai alat ukur.

2. Memetakan Kondisi Awal

Setelah punya definisi yang jelas, HR melakukan assessment awal. Bukan hanya melalui tes, tapi dengan cara yang lebih hidup.

Mereka mengirim tim observer berpura-pura menjadi pelanggan, mencatat semua interaksi, lalu membandingkannya dengan indikator kompetensi tadi. Hasilnya beragam.

Ada petugas toko yang dengan cepat menawarkan bantuan dan menanggapi keluhan dengan bijak. Tapi ada juga yang hanya berdiri pasif, atau malah cuek meski pelanggan tampak kebingungan.

Selain observasi, dilakukan juga self-assessment dan feedback dari supervisor. Semua data itu kemudian digabungkan untuk memetakan siapa yang sudah menunjukkan kompetensi tinggi, siapa yang masih rata-rata, dan siapa yang butuh intervensi khusus.

Dari sini terlihat bahwa tidak semua orang perlu pelatihan yang sama. Ada yang cukup diberi pelatihan dasar, ada yang perlu simulasi intensif, dan ada pula yang bisa dijadikan mentor untuk membina rekan lainnya.

3. Desain Pelatihan yang Tidak Lagi Membosankan

Nah, di sinilah Competency-Based Training menunjukkan keunggulannya. Materi pelatihan tidak disusun seperti seminar.

Tidak ada lagi sesi panjang penuh slide dan teori.

Sebagai gantinya, peserta diajak langsung menghadapi situasi nyata.

Mereka diberi studi kasus berdasarkan keluhan pelanggan yang benar-benar pernah terjadi.

Mereka diminta menonton rekaman CCTV dari toko-toko yang interaksinya berhasil dan yang gagal. Lalu mereka diminta menganalisis, di mana letak perbedaan sikapnya.

Latihan utama dalam pelatihan ini adalah simulasi. Setiap peserta diminta menghadapi pelanggan dalam berbagai skenario: pelanggan yang marah karena harga diskon tidak sesuai ekspektasi, pelanggan yang mengembalikan barang tanpa struk, pelanggan yang datang hanya untuk komplain tanpa membeli. Semua itu diperankan oleh trainer yang sudah dilatih khusus.

Peserta harus belajar menghadapi tekanan, mengambil keputusan, dan menunjukkan empati semua dalam suasana yang realistis.

Yang menarik, mereka tidak hanya sekali mencoba. Setelah setiap simulasi, langsung diberikan umpan balik, lalu diulang lagi.

Mereka belajar bukan dari teori, tapi dari pengalaman yang dikondisikan sedekat mungkin dengan lapangan.

Dan yang lebih penting, mereka tidak dianggap lulus hanya karena sudah ikut pelatihan. Lulus berarti mereka bisa menunjukkan perilaku yang sesuai dengan kompetensi, secara konsisten.

4. Setelah Pelatihan

Competency-Based Training tidak selesai di ruang pelatihan. Tiga minggu setelah sesi terakhir, supervisor melakukan pengamatan ulang di lapangan.

Mereka menggunakan form evaluasi yang sama dengan indikator perilaku dari awal. Hasilnya mulai terlihat. Karyawan yang sebelumnya pasif kini lebih proaktif menyapa pelanggan.

Mereka tidak lagi bingung saat ada keluhan, tidak cepat menyerah, dan bahkan mulai menunjukkan sikap empati yang sebelumnya tidak muncul.

Di satu toko yang dulunya dikenal cukup “dingin” dalam melayani pelanggan, kini justru mulai dipuji. Kepuasan pelanggan naik signifikan. Keluhan menurun.

Bahkan ada testimoni dari pelanggan tetap yang merasa suasana toko berubah menjadi lebih bersahabat. Menariknya, perubahan itu juga berdampak ke semangat kerja.

Beberapa frontliner yang sebelumnya kurang percaya diri, kini tampil lebih mantap.

Mereka merasa dihargai. Merasa punya kemampuan. Dan itu membuat mereka lebih betah bekerja.

competency-based training

Assessment center itu seperti cermin jujur yang tak bisa dibohongi ia menunjukkan, dengan sangat presisi, siapa karyawan yang memang punya kompetensi, dan siapa yang baru punya semangat.

Nah, ketika hasil assessment itu ditindaklanjuti dengan Competency-Based Training, efeknya luar biasa. Kita tidak lagi menebak-nebak apa yang harus dilatih.

Kita tahu persis. Yang diasah bukan sekadar pengetahuan umum, tapi perilaku kerja nyata yang dibutuhkan di lapangan.

Kompetensi yang dinilai, itulah yang dikembangkan. Tidak lebih, tidak kurang. Dan inilah yang kami di Magnet Solusi Integra kerjakan setiap hari membantu perusahaan seperti Anda merancang CBT berbasis data assessment center yang konkret.

Kalau Anda ingin tahu lebih dalam, diskusi santai saja dulu.

Klik gambar di atas, kami siapkan sesi meeting gratis tanpa pitch, tanpa jualan, hanya ngobrol soal pengembangan manusia.

Picture of Dra. I. Novianingtyastuti, M.M., Psikolog  <strong>CEO</strong>
Dra. I. Novianingtyastuti, M.M., Psikolog CEO

Praktisi HR dengan pengalaman lebih dari 20+ tahun di bidang rekrutmen dan pengembangan SDM.

Artikel terbaru

#ElevatingPeopleEmpoweringBusiness

Konsultasi HR yang Tepat Sekarang, Gratis!

Bangun sistem SDM yang efektif, adil, dan berdampak bersama tim konsultan berpengalaman dari Magnet Solusi Integra.

Atau booking meeting gratis via Form Booking Meeting