Daftar Isi

Penjelasan Dan Teori Efek Hawthorne Beserta Contohnya

Daftar Isi
Terima insight SDM terbaru, langsung via email mingguan
Newsletter

Dengan klik tombol Berlangganan, saya menyetujui untuk menerima email berita dan pemberitahuan dari Magnet Solusi Integra.

Ikuti akun media sosial resmi Magnet Solusi Integra
efek hawthorne

Ceritanya berawal dari sebuah pabrik di pinggiran kota Chicago. Namanya Western Electric Hawthorne Works. Tahun-tahun itu adalah dekade 1920-an, zaman ketika industrialisasi sedang panas-panasnya. Di sinilah, tanpa rencana muluk-muluk, sebuah eksperimen kecil memicu sebuah temuan yang mengubah cara kita melihat perilaku manusia dalam bekerja.

Awalnya sederhana. Para peneliti hanya ingin tahu: kalau pencahayaan di tempat kerja ditambah, apakah produktivitas buruh juga meningkat? Tapi yang terjadi jauh lebih menarik. Ketika lampu dipasang lebih terang, produksi naik. Tapi anehnya, saat lampu diredupkan lagi… produksi tetap naik. Bahkan ketika kondisi kerja tak diubah sama sekali, hasilnya juga meningkat.

Itulah titik awal yang kemudian dikenal sebagai Hawthorne Effect. Sebuah fenomena yang pada dasarnya menunjukkan: ketika seseorang tahu bahwa ia sedang diamati atau diperhatikan, maka perilakunya bisa berubah. Menjadi lebih baik, lebih giat, lebih antusias. Bukan karena lingkungan yang berubah. Tapi karena perasaannya berubah.

Baca Juga: 10+ Cara Meningkatkan Produktivitas Karyawan Perusahaan

efek hawthorne

Apa Itu Hawthorne Effect?

Secara definisi, Hawthorne Effect adalah fenomena psikologis di mana individu meningkatkan atau mengubah perilakunya sebagai respons atas kesadaran bahwa mereka sedang diamati. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh Henry A. Landsberger pada 1950-an, saat ia meninjau ulang eksperimen-eksperimen yang dilakukan di pabrik Hawthorne tersebut.

Yang menarik, perubahan perilaku itu tidak selalu rasional. Tidak selalu berkaitan langsung dengan variabel yang sedang diuji. Artinya, perhatian itu sendiri yang menjadi “variabel” paling berpengaruh. Saat buruh merasa diperhatikan oleh manajemen atau peneliti, semangat kerjanya meningkat. Walaupun fasilitasnya tetap.

Secara psikologis, Hawthorne Effect berkaitan erat dengan konsep social desirability bias di mana seseorang cenderung berperilaku sesuai harapan sosial ketika merasa sedang dinilai. Atau juga bersinggungan dengan observer effect, yaitu kecenderungan seseorang bertindak berbeda saat sadar sedang diamati.

Eksperimen Hawthorne

Istilah Hawthorne Effect pertama kali dikenal dari sebuah studi yang dilakukan di awal abad ke-20, tepatnya antara tahun 1924 sampai 1932. Lokasi eksperimennya ada di sebuah pabrik bernama Western Electric Hawthorne Works, di Cicero, Illinois, Amerika Serikat. Pada awalnya, para peneliti dari Harvard Business School yang dipimpin oleh Elton Mayo hanya ingin mengetahui sejauh mana pengaruh pencahayaan terhadap produktivitas kerja karyawan. Mereka mengira, kalau lampu dibuat lebih terang, karyawan akan bekerja lebih baik. Tapi hasilnya ternyata jauh lebih menarik. Bahkan cenderung membingungkan di awal.

Yang terjadi adalah begini. Ketika pencahayaan ditingkatkan, produktivitas meningkat. Tapi saat pencahayaan dikurangi logikanya produktivitas harus menurun eh, hasilnya tetap naik juga. Bahkan ketika pencahayaan dikembalikan ke kondisi semula, produktivitas para pekerja tetap tinggi. Aneh, bukan?

1. Bukan Lampu, Tapi Interaksi

Penjelasannya kemudian datang dari sisi yang lebih manusiawi. Bukan lampu yang membuat semangat kerja naik, tapi kehadiran peneliti. Setiap kali ada interaksi, diskusi, dan observasi, karyawan merasa diperlakukan sebagai individu yang penting. Mereka merasa dilibatkan, diperhatikan, bahkan dianggap spesial.

Ini membuat banyak orang mulai berpikir ulang tentang cara memotivasi karyawan. Bahwa motivasi tidak selalu datang dari insentif finansial atau hukuman. Tapi bisa juga muncul dari interaksi manusia yang sederhana: perhatian yang tulus dan penghargaan terhadap peran masing-masing.

2. Konteks Sosial Menentukan Reaksi

Hal menarik lainnya adalah bagaimana konteks sosial dan ekspektasi bisa memengaruhi perilaku. Para pekerja di Hawthorne merasa “diawasi” tapi bukan dalam arti negatif. Mereka merasa menjadi bagian dari eksperimen besar yang penting. Ada rasa tanggung jawab moral untuk menunjukkan hasil terbaik. Ini menunjukkan bahwa jika konteksnya tepat, perhatian bisa menjadi dorongan moral, bukan tekanan.

Begitu pula dalam organisasi. Ketika perhatian diberikan dalam konteks membangun, bukan menghakimi, maka yang muncul bukan rasa takut, tapi rasa ingin berkontribusi. Dan dari sanalah performa tumbuh secara alami.

3. Awal Lahirnya Psikologi Organisasi Modern

Dari eksperimen inilah, lahir kesadaran bahwa pendekatan teknis tidak cukup. Psikologi organisasi pun mulai mengambil peran penting dalam dunia manajemen. Elton Mayo dan rekan-rekannya menjadi pelopor dalam menunjukkan bahwa suasana sosial di tempat kerja seperti rasa dihargai, hubungan antarkaryawan, dan perhatian dari atasan punya peran yang tak kalah besar dari teknologi produksi.

Dengan kata lain, Hawthorne Effect bukan hanya soal “diperhatikan lalu kerja lebih rajin.” Ia adalah pintu masuk menuju dunia manajemen yang lebih manusiawi. Dan pintu itu, sampai hari ini, masih terbuka lebar untuk siapa pun yang ingin memimpin dengan empati.

Mengapa Hawthorne Effect Penting?

Kalau kita mau merenung sedikit lebih dalam, Hawthorne Effect sebenarnya mengajarkan sesuatu yang sangat esensial tentang manusia: bahwa kita semua ingin dihargai, ingin dilihat, ingin dianggap penting. Dalam dunia kerja, ini sering terlupakan. Banyak manajer sibuk mengejar target, menyusun strategi, menyempurnakan sistem, tapi lupa bahwa perhatian sederhana bisa jadi lebih ampuh dari seribu kebijakan tertulis.

Para peneliti pada masa itu tidak serta-merta menyimpulkan bahwa perhatian adalah segalanya. Tapi eksperimen lanjutan terus dilakukan. Mulai dari mengatur waktu istirahat, jam kerja, hingga sistem penggajian. Tapi hasilnya tetap menunjukkan satu pola: ketika pekerja merasa mereka sedang menjadi bagian dari suatu eksperimen diperhatikan dan dilibatkan mereka menunjukkan kinerja yang lebih tinggi.

Dan dari sinilah kita belajar: perhatian bukan sekadar urusan HR. Ia adalah detak jantung dari hubungan kerja yang sehat.

1. Membangun Budaya Perhatian di Organisasi

Perhatian bukanlah tugas HR semata. Ia adalah budaya yang harus hidup di semua level organisasi. Seorang supervisor di lantai produksi bisa memberi efek Hawthorne hanya dengan bertanya bagaimana kondisi keluarga pekerjanya. Seorang direktur bisa memantik semangat baru dengan menyebut nama seorang staf dalam forum besar sebagai bentuk apresiasi.

Budaya perhatian bukan soal gimmick. Ia bekerja karena menyentuh sisi terdalam manusia: ingin dianggap berarti. Organisasi yang membangun budaya seperti ini biasanya bukan hanya unggul dalam kinerja, tetapi juga unggul dalam retensi, loyalitas, dan kepuasan karyawan. Karena pada akhirnya, orang tidak selalu bekerja untuk uang, tapi untuk merasa dihargai.

Dan perhatian tidak pernah kehilangan relevansinya. Bahkan di zaman yang semuanya serba otomatis, chatbot, dan KPI digital, perhatian tetap jadi komponen yang tidak bisa diduplikasi mesin.

2. Efek Domino Terhadap Kepemimpinan

Hawthorne Effect juga memperlihatkan betapa pentingnya keteladanan. Ketika manajer menunjukkan perhatian kepada stafnya, maka staf itu cenderung melakukan hal yang sama kepada rekan kerja lainnya. Inilah efek domino yang tidak tercantum dalam KPI, tapi terasa dalam budaya kerja. Budaya kerja yang penuh perhatian sering kali menyebar secara organik, tanpa instruksi tertulis. Ia lahir dari teladan.

Pemimpin yang punya kebiasaan memberi perhatian biasanya melahirkan tim yang saling memperhatikan satu sama lain. Dan dari sinilah tumbuh kepercayaan, loyalitas, dan inisiatif tiga hal yang sulit dibeli, tapi sangat berharga. Jika kita ingin membangun organisasi yang sehat dan berumur panjang, kita tidak bisa melewatkan hal ini.

3. Meningkatkan Retensi dan Kepuasan Kerja

Banyak perusahaan memutar otak untuk mencari cara mempertahankan karyawan terbaiknya. Ada yang menaikkan gaji. Ada yang memberi bonus tahunan. Ada yang menambahkan fasilitas ruang tidur siang dan kopi gratis. Tapi ironisnya, tetap saja ada yang resign. Kenapa?

Karena yang membuat orang bertahan di tempat kerja bukan hanya fasilitas, tapi rasa. Rasa dihargai. Rasa dilibatkan. Rasa bahwa dirinya punya arti. Dan itulah yang dibangkitkan oleh Hawthorne Effect. Ketika perhatian ditanamkan sebagai budaya organisasi, karyawan cenderung merasa terikat secara emosional. Mereka merasa punya tempat. Punya ruang. Dan dari situ tumbuh loyalitas yang jauh lebih kuat daripada sekadar kontrak kerja.

Retention bukan urusan SDM saja. Ia berakar dari suasana. Dan suasana itu dibentuk oleh perhatian bukan hanya prosedur.

4. Mengganti Sistem Reward yang Kaku

Salah satu pelajaran penting dari Hawthorne Effect adalah: penghargaan tidak harus mahal. Tidak selalu harus dalam bentuk bonus besar, promosi jabatan, atau penghargaan tahunan yang kadang terasa terlalu formal. Kadang, yang dibutuhkan karyawan hanya pengakuan sederhana. Sebuah ucapan: “Pekerjaanmu minggu ini luar biasa.” Kalimat yang hanya butuh waktu tiga detik untuk diucapkan, tapi bisa berdampak selama tiga bulan.

Banyak perusahaan terlalu fokus pada sistem reward yang rumit, berbasis skor, nilai, dan angka. Padahal, pendekatan manusiawi sering kali jauh lebih efektif. Terutama untuk karyawan generasi milenial dan Gen Z, yang lebih menghargai keterlibatan emosional daripada struktur kaku. Hawthorne Effect membuktikan: saat orang merasa diperhatikan, mereka termotivasi tanpa harus terus diganjar insentif formal.

5. Menjadi Dasar Coaching dan Feedback Modern

Coaching bukanlah hal baru. Tapi pendekatan coaching modern yang efektif biasanya didasarkan pada prinsip yang dekat dengan Hawthorne Effect: mendengarkan secara aktif, memperhatikan, dan membangun hubungan kepercayaan. Karyawan yang tahu bahwa suaranya didengar, dan idenya dipertimbangkan, akan lebih terbuka terhadap masukan. Feedback pun tidak lagi terasa seperti evaluasi, tapi seperti diskusi.

Efek Hawthorne membantu kita memahami bahwa proses coaching yang berhasil bukan hanya soal alat ukur, tetapi soal kedekatan. Soal bagaimana atasan dan bawahan saling memperhatikan dan saling mempercayai. Di situlah pembelajaran berkembang, bukan karena sistemnya canggih, tapi karena manusia yang terlibat di dalamnya saling memanusiakan.

Baca Juga: Retensi Karyawan: Pengertian, Strategi, & Contoh

Aplikasi dalam Dunia Kerja Modern

Sekarang bayangkan Anda seorang manajer di era digital. Tim Anda tersebar secara remote. Ada yang bekerja dari rumah di Jakarta, ada yang di Bandung, bahkan ada yang di Bali. Anda tidak bisa setiap hari melihat secara langsung kinerja mereka. Lalu bagaimana Hawthorne Effect bisa dimanfaatkan?

Jawabannya: lewat keterlibatan digital yang tetap terasa personal. Meski tidak hadir fisik, Anda bisa hadir secara emosional. Misalnya, dengan rutin memberikan check-in mingguan. Bukan sekadar menanyakan progres kerja, tapi juga bertanya: “Apa yang paling membuatmu semangat minggu ini?” atau “Ada tantangan apa yang sedang kamu hadapi?”

Itu bentuk perhatian. Bukan sekadar kontrol. Dan seperti yang sudah dibuktikan sejak zaman pabrik Hawthorne dulu, perhatian yang tulus bisa mendorong kinerja lebih baik dibandingkan hanya sekadar pengawasan mekanis.

1. Teknologi sebagai Jembatan Perhatian

Dalam dunia yang serba digital, perhatian tidak harus selalu datang lewat tatap muka. Hari ini, teknologi bisa menjadi jembatan perhatian. Mulai dari sistem HR berbasis cloud yang memungkinkan pemantauan kerja secara real-time, hingga fitur employee recognition yang secara otomatis mengingatkan atasan untuk memberi apresiasi saat target kecil berhasil dicapai. Chat singkat di Slack, emoji terima kasih di Microsoft Teams, atau virtual applause di rapat daring semuanya adalah bentuk kecil perhatian yang bisa membangkitkan semangat kerja.

Teknologi, jika digunakan dengan empati, justru bisa memperkuat efek Hawthorne. Ia tidak menggantikan manusia, tetapi memperluas daya jangkau perhatian antarmanusia di tengah dunia kerja yang semakin tersebar.

2. Perhatian Tidak Harus Formal

Sering kali manajer mengira bahwa perhatian hanya bisa ditunjukkan lewat proses formal: rapat, laporan evaluasi, atau penilaian kinerja tahunan. Padahal tidak selalu demikian. Dalam konteks Hawthorne Effect, perhatian bisa bersifat informal dan tetap berdampak besar. Misalnya, ketika seorang atasan tiba-tiba datang ke meja kerja hanya untuk bilang, “Saya lihat cara kamu menyelesaikan tugas kemarin luar biasa. Terima kasih ya.”

Kalimat sesederhana itu bisa membangkitkan motivasi selama berhari-hari. Tidak ada jadwal resmi. Tidak perlu format laporan. Tapi efek psikologisnya nyata. Apalagi jika dilakukan secara konsisten, bukan hanya ketika ada masalah atau menjelang audit.

2. Karyawan Butuh Merasa “Dilihat”

Di balik semua sistem kerja, ada manusia yang ingin merasa seen dilihat, bukan hanya secara fisik, tapi secara batin. Karyawan yang setiap hari datang ke kantor atau log in dari rumah, akan punya perasaan berbeda saat tahu bahwa keberadaannya tidak diabaikan. Saat tahu bahwa hasil kerjanya diperhatikan. Saat tahu bahwa progres kecilnya pun dihargai.

Inilah kunci sebenarnya dari mengaktifkan Hawthorne Effect dalam dunia kerja modern. Bukan menciptakan sistem yang rumit, tapi mengembalikan hubungan kerja pada esensi relasi manusiawi. Bahwa perhatian, sekecil apa pun, bisa menjadi percikan energi.

efek hawthorne

Bayangkan jika seluruh tim Anda bekerja dengan semangat penuh hanya karena merasa diperhatikan bukan karena bonus, bukan karena ancaman, tapi karena mereka tahu keberadaannya bermakna.

Inilah kekuatan tersembunyi dari Hawthorne Effect, dan inilah yang menjadi fondasi pendekatan pelatihan di Magnet Solusi Integra. Kami tidak hanya mengajarkan teknik manajerial, tetapi membentuk cara pandang baru: bahwa perhatian yang tulus bisa jadi pemantik produktivitas paling kuat.

Dengan modul pelatihan berbasis empati dan pendekatan kepemimpinan yang manusiawi, kami membantu organisasi Anda menyalakan kembali semangat kerja dari dalam.

Tertarik membuktikannya? Konsultasi gratis dengan tim kami sekarang dan rasakan sendiri dampak dari kepemimpinan yang benar-benar melihat.

Picture of Dra. I. Novianingtyastuti, M.M., Psikolog  <strong>CEO</strong>
Dra. I. Novianingtyastuti, M.M., Psikolog CEO

Praktisi HR dengan pengalaman lebih dari 20+ tahun di bidang rekrutmen dan pengembangan SDM.

Artikel terbaru

#ElevatingPeopleEmpoweringBusiness

Konsultasi HR yang Tepat Sekarang, Gratis!

Bangun sistem SDM yang efektif, adil, dan berdampak bersama tim konsultan berpengalaman dari Magnet Solusi Integra.

Atau booking meeting gratis via Form Booking Meeting