Engagement itu seperti listrik. Tidak kelihatan, tapi menggerakkan semuanya. Tidak bisa disentuh, tapi ketika padam, semua berhenti.
Di perusahaan, engagement itu energi. Bukan sekadar semangat kerja, bukan cuma loyalitas.
Tapi daya hidup. Apinya. Dan sering kali, perusahaan tidak sadar kapan listriknya mulai meredup.
Mari kita ngobrol santai soal ini. Tentang engagement. Tentang employee dan workforce.
Tentang sesuatu yang sering dilabeli HR sebagai “isu penting” tapi ironisnya justru sering luput dari sentuhan paling mendasar: rasa manusiawi.
Baca Juga: Employee Engagement Adalah? Ini Arti & Bentuk Programnya!

Apa Itu Engagement?
Kalau mau diringkas dalam satu kalimat sederhana,
Engagement adalah perasaan karyawan terhadap pekerjaannya, terhadap perusahaannya, dan terhadap masa depannya di tempat itu.
Tapi bukan hanya perasaan melainkan perasaan yang mendorong tindakan.
Perasaan yang membuat orang ingin datang pagi-pagi tanpa disuruh.
Yang membuat mereka tidak buru-buru pulang, meski jam kerja selesai. Bukan karena takut. Tapi karena peduli.
Engagement berbeda dari sekadar puas.
Orang bisa puas dengan gaji, tapi tidak tergerak untuk memberi lebih.
Bisa nyaman dengan bos, tapi tidak merasa bahwa pekerjaannya berarti.
Jadi engagement itu bukan soal kenyamanan. Bukan soal fasilitas. Tapi lebih dalam dari itu: keterhubungan emosi dan makna.
Employee Engagement
Employee engagement berbicara tentang ikatan antara individu si Budi, si Rina, si Anton dengan perusahaan tempat mereka bekerja.
Ini bukan sekadar loyalitas, tapi soal perasaan ikut memiliki.
Tentang apakah mereka merasa dihargai, didengar, dan dilibatkan dalam keputusan.
Karyawan yang engaged tidak bekerja hanya karena kontrak.
Mereka merasa bagian dari perjalanan perusahaan. Mereka tahu bahwa kontribusi mereka punya arti. Mereka tidak sekadar datang untuk menggugurkan jam kerja, tapi datang untuk memberikan dampak.
Dan ini semua sangat personal. Employee engagement tumbuh atau mati dari bagaimana mereka diperlakukan sehari-hari.
Dari komunikasi dengan atasan, kejelasan peran, hingga kesempatan untuk berkembang.
Maka jika Anda ingin tahu apakah employee engagement kuat, jangan lihat hanya dari laporan lihat dari interaksi harian di lantai kerja.
Suasananya berbicara lebih jujur daripada survei tahunan.
Workforce Engagement
Kalau employee engagement fokus ke satu per satu orang, workforce engagement melihat secara keseluruhan.
Ini bukan tentang satu Budi, tapi tentang 500 orang di pabrik, 1200 karyawan di seluruh cabang, termasuk mitra, kontraktor, dan support staff.
Semuanya adalah roda dalam mesin besar bernama organisasi.
Workforce engagement bertanya: apakah keseluruhan tenaga kerja kita bergerak dalam irama yang sama?
Apakah semua bagian dari sistem ini merasa dihargai dan punya makna?
Tantangannya lebih kompleks. Karena sekarang bukan cuma bicara soal SDM tetap, tapi juga tentang fleksibilitas kerja, tenaga kerja paruh waktu, bahkan partner eksternal yang bekerja remote.
Workforce engagement harus membangun rasa keterlibatan kolektif. Agar semua tahu ke mana arah perusahaan berjalan.
Agar semua merasa: saya bagian dari ini.
Dan itulah kenapa strategi workforce engagement tidak bisa hanya copy-paste dari manual HR.
Harus disesuaikan dengan struktur tenaga kerja yang makin cair dan kompleks. Tapi intinya sama: memberi rasa memiliki. Di tengah sistem yang besar.
Baca Juga: Bagaimana Peranan Karyawan Menilai Diri Sendiri?
Work Engagement
Yang terakhir ini, lebih filosofis: work engagement.
Work engagement bukan tentang perusahaan. Bukan tentang atasan. Tapi tentang pekerjaan itu sendiri.
Apakah seseorang merasa bahwa tugasnya punya makna? Apakah mereka menikmati prosesnya? Apakah mereka tenggelam dalam pekerjaannya dengan penuh semangat dan rasa tertantang?
Orang yang work-engaged itu seperti sedang jatuh cinta pada pekerjaannya.
Tidak perlu disuruh. Tidak perlu diawasi. Mereka menyelam sendiri ke dalam detail, mencari solusi, menyempurnakan hasil.
Bukan karena ada bonus. Tapi karena mereka peduli pada kualitas pekerjaan itu sendiri.
Dan work engagement bisa terjadi bahkan di organisasi yang tidak terlalu sempurna.
Karena ini lebih dalam: tentang passion, tentang sense of purpose, tentang relasi antara pribadi dan aktivitas yang dilakukan setiap hari.
Namun, perusahaan bisa membantu memperkuat ini. Dengan memberi pekerjaan yang bermakna.
Dengan memberi tantangan yang pas. Dengan memberi ruang eksplorasi. Bukan hanya prosedur.
Mengapa Engagement Itu Krusial Sekali Sekarang?
Karena zaman sudah tidak sama. Orang tidak lagi bekerja hanya demi uang.
Generasi sekarang, apalagi generasi yang lahir setelah tahun 90-an, butuh lebih dari gaji tetap dan bonus akhir tahun.
Mereka ingin merasa berarti. Ingin merasa suaranya didengar. Ingin tahu bahwa pekerjaan mereka punya dampak.
Kalau tidak, mereka akan diam. Lalu perlahan-lahan menjauh. Mungkin fisiknya masih di kantor, tapi jiwanya sudah tidak di sana.
Itulah disengaged employees mereka yang datang hanya karena absensi, bukan karena panggilan hati.
Dan angka disengaged ini mengkhawatirkan.
Survei global dari Gallup menyebutkan bahwa secara rata-rata, hanya 20-30% karyawan yang benar-benar engaged.
Sisanya? Melayang entah ke mana. Padahal perusahaan hidup bukan dari orang yang hadir, tapi dari orang yang hadir sepenuhnya.
Tidak ada software yang bisa beli engagement. Tidak ada insentif yang bisa memaksa rasa memiliki. Engagement dibangun. Hari demi hari.
Lewat interaksi kecil. Lewat kepedulian yang konsisten. Lewat kejelasan arah. Lewat ketulusan dalam memberi umpan balik.
Manajer yang datang ke timnya dan bertanya, “Gimana kabarmu minggu ini?” itu kecil.
Tapi bisa besar artinya. Karena itu tanda bahwa mereka tidak hanya dianggap sebagai pekerja. Tapi sebagai manusia.
Dan engagement tumbuh paling kuat ketika tiga hal terjadi secara bersamaan: ada kejelasan misi, ada makna dalam pekerjaan, dan ada hubungan yang sehat antar manusia di dalamnya.
Bagaimana Mengukur Engagement yang Tak Terlihat?
Ini pertanyaan HR klasik: gimana tahu karyawan kita engaged atau tidak?
Jawabannya bisa lewat survei ya. Tapi survei itu hanya permukaan. Karena yang lebih penting adalah mendengar.
Dan melihat. Apakah orang-orang berbicara dengan antusias? Apakah mereka menawarkan ide tanpa diminta?
Apakah mereka mau belajar tanpa disuruh? Kalau iya, engagement sedang hidup.
Tapi jika suasana kantor dingin, rapat hanya formalitas, dan semua kerja hanya berdasarkan SOP… maka listriknya sedang padam. Pelan tapi pasti.
Engagement lahir dari hubungan. Dan hubungan terbentuk lewat pemimpin.
Maka pemimpin bukan lagi sekadar pengatur tugas, tapi penjaga semangat. Mereka bukan hanya yang tahu strategi, tapi yang tahu bagaimana memanusiakan.
Seorang pemimpin yang engaged bisa menular. Timnya jadi ikut semangat. Tapi pemimpin yang dingin dan jauh? Akan menyedot energi semua orang.
Itulah kenapa perusahaan besar yang sehat tidak hanya bicara soal sistem, tapi soal culture. Dan engagement adalah jantungnya budaya.
Baca Juga: 8 Tips & Cara Mengembangkan Karir Karyawan Perusahaan!
Arti Engagement Rate Adalah?
Engagement rate itu ibarat angka tekanan darah dalam tubuh manusia. Dia tidak menceritakan segalanya.
Tapi cukup untuk memberi gambaran: sehat atau tidak. Energi hidup atau mulai melemah. Dan di perusahaan, engagement rate adalah indikator jujur meskipun sering kali tidak disukai.
Engagement rate adalah persentase dari karyawan yang benar-benar terlibat secara emosional dan psikologis dalam pekerjaannya dan organisasinya. Mereka yang merasa punya koneksi.
Merasa punya andil. Merasa pekerjaan mereka bermakna. Bukan sekadar memenuhi absen, menyelesaikan to-do list, lalu pulang.
Biasanya angka ini didapat dari survei tahunan. Survei yang menanyakan hal-hal seperti:
Apakah kamu merasa dihargai? Apakah kamu paham tujuan perusahaan? Apakah kamu punya peluang untuk berkembang?
Jawaban-jawaban itulah yang dikonversi menjadi angka. Lalu dilaporkan dalam rapat manajemen.
Tapi sejujurnya, engagement rate lebih dalam dari sekadar skor. Ia bisa mencerminkan apakah budaya perusahaan sedang sehat atau hanya penuh basa-basi.
Apakah komunikasi hanya satu arah atau betul-betul dua arah. Apakah orang-orang bicara jujur atau hanya diam karena takut.
Di dunia nyata, engagement rate yang baik biasanya berada di kisaran 70% ke atas. Tapi banyak perusahaan yang berhenti di angka 40-50%. Bahkan ada yang tidak berani mengukur. Takut melihat kenyataan.
Padahal tidak ada organisasi yang bisa tumbuh dengan sehat kalau tidak tahu suhu emosional orang-orang di dalamnya. Engagement rate tidak bisa dimanipulasi dengan gimmick.
Tidak bisa didongkrak hanya dengan program HR tahunan. Ia hanya akan naik jika manajemen betul-betul peduli. Jika komunikasi dibuka. Jika suara dari bawah tidak hanya didengar tapi direspons.
Dan satu hal yang perlu disadari: engagement rate yang tinggi bukan berarti semua orang bahagia. Tapi itu berarti mereka merasa pekerjaan ini layak untuk diperjuangkan.
Dan itu jauh lebih penting daripada sekadar senyum di foto kegiatan kantor.
Jadi, engagement rate bukan tujuan. Tapi barometer. Yang membantu kita tahu, apakah orang-orang kita masih menyala… atau sudah mulai meredup.
Dan darinya, kita bisa memutuskan: menyalakan ulang, atau membiarkan mereka padam dalam diam.

Salah satu cara paling konkret dan strategis untuk meningkatkan engagement khususnya di level karyawan maupun pimpinan adalah melalui assessment centre.
Bukan sekadar menilai, assessment centre yang dirancang dengan baik justru bisa menjadi cermin reflektif yang membangun kesadaran, memunculkan potensi, dan membuka ruang dialog yang selama ini mungkin tersumbat.
Di sinilah engagement mulai tumbuh: saat orang merasa dilihat, didengar, dan dibantu berkembang.
Kalau Anda ingin tahu bagaimana assessment centre bisa diterapkan untuk menghidupkan kembali semangat tim di perusahaan Anda, silakan booking sesi konsultasi gratis bersama tim Magnet Solusi Integra.
Klik gambar di atas atau tombol di bawah ini dan mari kita ngobrol santai, tapi strategis.👇