Daftar Isi

Workload Analysis: Simak Arti, Contoh & Metodenya

Daftar Isi
Terima insight SDM terbaru, langsung via email mingguan
Newsletter

Dengan klik tombol Berlangganan, saya menyetujui untuk menerima email berita dan pemberitahuan dari Magnet Solusi Integra.

Ikuti akun media sosial resmi Magnet Solusi Integra
work load analysis

Pada awal kuartal, sebuah perusahaan ritel nasional mengadakan rapat evaluasi kinerja. Di layar proyektor, grafik penjualan tampak menjulang di beberapa cabang, tetapi justru merosot di cabang lainnya. “Kita perlu tambah orang,” ujar manajer cabang yang penjualannya turun. Sementara dari sudut lain, manajer HR menyahut, “Jangan buru-buru rekrut. Bisa jadi masalahnya bukan jumlah orang, tapi distribusi kerja yang tidak seimbang.” Percakapan itu bukan hal langka. Dalam banyak organisasi, keputusan terkait penambahan atau pengurangan tenaga kerja sering kali didasarkan pada persepsi, bukan data konkret. Padahal, seperti seorang dokter yang mendiagnosis pasien, organisasi juga membutuhkan alat diagnosis yang akurat untuk mengukur seberapa besar beban kerja yang ditanggung timnya.

Di sinilah workload analysis menjadi kunci. Bukan sekadar istilah teknis dalam human resource management, workload analysis adalah proses yang memisahkan antara dugaan dan fakta, antara perasaan dan realitas. Ia ibarat peta jalan yang menuntun manajemen untuk memastikan bahwa setiap posisi memiliki beban kerja yang proporsional, produktif, dan sesuai kapasitas. Tanpa ini, organisasi berisiko mengalami dua ekstrem: karyawan yang kewalahan karena beban kerja berlebih atau karyawan yang justru kekurangan pekerjaan dan kehilangan motivasi.

Baca Juga: 15 Cara Merekrut Karyawan Yang Berkualitas Untuk Perusahaan!

workload analysis

Apa Itu Workload Analysis?

Workload analysis adalah proses sistematis untuk menilai, mengukur, dan menganalisis jumlah pekerjaan yang harus diselesaikan oleh individu atau tim dalam periode tertentu, serta membandingkannya dengan kapasitas dan sumber daya yang tersedia. Dalam konteks manajemen sumber daya manusia, workload analysis berfungsi sebagai dasar pengambilan keputusan strategis, mulai dari perencanaan tenaga kerja, distribusi tugas, hingga pengembangan kompetensi.

Workload analysis artinya bukan sekadar menghitung jam kerja, tetapi menilai seluruh spektrum tugas mulai dari kompleksitas, frekuensi, hingga waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya. Misalnya, dua karyawan sama-sama bekerja delapan jam sehari, tetapi jenis pekerjaannya sangat berbeda. Yang satu mungkin mengerjakan tugas administratif yang repetitif, sementara yang lain menangani negosiasi proyek bernilai miliaran rupiah. Tanpa analisis yang tepat, manajemen mudah terjebak pada asumsi bahwa beban kerja mereka setara.

Di ranah human resource management (workload analysis in HRM), metode ini menjadi instrumen vital untuk memastikan workforce planning berjalan berbasis data. Ia menjadi acuan dalam menyusun workload analysis template, membuat workload analysis pdf atau workload analysis ppt untuk presentasi, hingga menyusun rekomendasi rekrutmen dan pelatihan.

1. Identifikasi Tugas dan Aktivitas

Langkah awal dalam analisis beban kerja adalah mengidentifikasi semua tugas yang dilakukan oleh individu, tim, atau organisasi.

Proses ini melibatkan pengumpulan informasi terkait jenis pekerjaan, tanggung jawab utama, dan aktivitas rutin maupun insidental.

Informasi dapat diperoleh melalui deskripsi pekerjaan, wawancara dengan karyawan, atau survei aktivitas harian.

Tujuannya adalah untuk menyusun daftar lengkap semua tugas yang menjadi tanggung jawab individu atau tim sehingga setiap pekerjaan yang membutuhkan perhatian dapat terpetakan dengan jelas.

Hasil akhirnya berupa dokumen atau daftar yang merinci setiap tugas sebagai dasar untuk langkah analisis berikutnya.

2. Pengukuran Waktu

Setelah tugas teridentifikasi, langkah selanjutnya adalah mengukur waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan setiap tugas.

Pengukuran waktu dilakukan untuk memahami seberapa besar beban kerja dibandingkan dengan kapasitas waktu yang tersedia.

Berbagai metode digunakan untuk mengukur waktu, seperti time study (pengamatan langsung terhadap waktu yang digunakan untuk menyelesaikan tugas), work sampling (pengambilan sampel aktivitas untuk menghitung waktu rata-rata), atau self-reporting (catatan waktu yang dibuat oleh karyawan sendiri).

Pengukuran waktu yang akurat sangat penting untuk memastikan bahwa setiap tugas dapat diselesaikan dalam durasi kerja yang wajar, sekaligus mengidentifikasi tugas-tugas yang membutuhkan perhatian khusus karena memakan waktu lebih lama dari yang diharapkan.

3. Evaluasi Kapasitas

Langkah ini adalah membandingkan beban kerja dengan kapasitas kerja individu atau tim.

Evaluasi kapasitas dilakukan dengan membandingkan beban kerja yang ada dengan kapasitas kerja individu atau tim.

Kapasitas kerja mencakup jumlah waktu kerja yang tersedia dalam sehari atau seminggu, kemampuan dan keterampilan pekerja, serta dukungan alat atau sumber daya lainnya.

Misalnya, jika seorang karyawan bekerja 8 jam sehari, maka kapasitas maksimalnya adalah 40 jam per minggu.

Evaluasi ini juga mempertimbangkan apakah pekerja memiliki keterampilan yang memadai untuk menyelesaikan tugas secara efisien.

Jika ditemukan ketidakseimbangan, seperti overload (kelebihan beban kerja) atau underload (kurangnya beban kerja), maka langkah-langkah korektif dapat diambil untuk memastikan kapasitas yang ada digunakan secara optimal.

4. Penyesuaian dan Rekomendasi

Berdasarkan hasil evaluasi, diperlukan langkah-langkah untuk menyeimbangkan beban kerja. Penyesuaian dapat dilakukan dengan redistribusi tugas, di mana tugas dari karyawan yang kelebihan beban dipindahkan ke mereka yang kapasitasnya masih tersedia.

Pelatihan juga bisa diberikan untuk meningkatkan kemampuan karyawan dalam menyelesaikan tugas tertentu.

Jika beban kerja terlalu tinggi secara keseluruhan, organisasi dapat mempertimbangkan untuk menambah sumber daya, baik dalam bentuk tenaga kerja baru, alat bantu, atau teknologi yang mengotomatisasi pekerjaan.

Automasi menjadi salah satu solusi yang efektif untuk mengurangi pekerjaan manual yang repetitif.

Penyesuaian ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, menghindari stres atau burnout, dan memastikan bahwa pekerjaan dapat diselesaikan dengan hasil yang optimal dalam waktu yang ditentukan.

5. Manfaat Workload Analysis

Workload analysis memberikan berbagai manfaat bagi individu, tim, maupun organisasi.

Dalam aspek efisiensi kerja, analisis ini membantu memastikan bahwa sumber daya digunakan secara maksimal dan tidak ada tenaga yang terbuang sia-sia.

Dalam aspek produktivitas, workload analysis memungkinkan organisasi untuk mencapai target tanpa harus menambah waktu kerja atau biaya yang tidak perlu.

Selain itu, analisis ini mendukung keseimbangan kerja, yang penting untuk menjaga kesehatan fisik dan mental karyawan, sekaligus meningkatkan kepuasan kerja mereka.

Dari sisi manajemen, workload analysis memberikan data yang akurat untuk kebutuhan perencanaan sumber daya manusia, termasuk menentukan jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk proyek atau periode tertentu di masa depan.

6. Tools dan Metode yang Digunakan

Dalam melaksanakan workload analysis, berbagai alat dan metode dapat digunakan untuk mempermudah proses dan meningkatkan akurasi hasil.

Work Breakdown Structure (WBS) sering digunakan untuk membagi pekerjaan besar menjadi unit-unit kecil yang lebih terukur dan dapat dikelola dengan lebih baik.

Time tracking software, seperti Toggl atau Clockify, membantu mencatat waktu yang dihabiskan untuk setiap tugas secara otomatis.

Selain itu, Key Performance Indicators (KPIs) digunakan untuk menilai sejauh mana tugas-tugas mendukung pencapaian tujuan organisasi secara keseluruhan.

Observasi langsung juga tetap menjadi salah satu cara tradisional yang efektif untuk memahami pola kerja dan mengidentifikasi hambatan yang mungkin tidak terlihat melalui data saja.

Dengan menggunakan tools ini, workload analysis menjadi lebih efisien, sistematis, dan menghasilkan data yang dapat diandalkan untuk pengambilan keputusan.

Baca Juga: 12 Perbedaan Coaching dan Mentoring! Ini Beda & Tekniknya!

Contoh dan Penerapan Workload Analysis

Penerapan workload analysis dapat ditemukan di berbagai sektor industri, mulai dari layanan kesehatan hingga sektor keuangan. Setiap organisasi memiliki kebutuhan spesifik, tetapi prinsip dasarnya sama: memastikan kesesuaian antara beban kerja dan kapasitas sumber daya.

Studi Kasus di Layanan Kesehatan

Di sebuah rumah sakit besar, keluhan kelelahan perawat menjadi isu yang mengganggu kualitas layanan. Melalui workload analysis, ditemukan bahwa beban kerja pada shift malam jauh lebih tinggi dibandingkan shift siang, terutama di unit gawat darurat. Dengan temuan ini, manajemen melakukan redistribusi staf dan menambah tenaga pendukung pada jam-jam kritis. Dampaknya terlihat jelas: tingkat kesalahan medis menurun dan kepuasan pasien meningkat.

Studi Kasus di Perbankan

Sebuah bank nasional menerapkan workload analysis template untuk memetakan aktivitas harian customer service. Analisis menunjukkan bahwa 40% waktu kerja dihabiskan untuk tugas administratif yang berulang dan dapat diotomatisasi. Rekomendasi yang dihasilkan adalah mengadopsi sistem digital workflow yang memangkas beban administratif, sehingga karyawan dapat lebih fokus pada interaksi langsung dengan nasabah. Hasilnya adalah peningkatan produktivitas dan kualitas layanan.

Studi Kasus di Industri Manufaktur

Dalam industri manufaktur, workload analysis digunakan untuk mengukur kapasitas lini produksi. Sebuah pabrik elektronik menemukan bahwa salah satu lini kerja memiliki bottleneck karena distribusi tugas yang tidak merata antarpos. Setelah analisis, alokasi tenaga kerja diatur ulang, dan produktivitas meningkat tanpa perlu menambah jumlah pekerja. Kasus ini menunjukkan bagaimana analisis yang tepat dapat menghemat biaya sambil meningkatkan output.

Evaluasi Kapasitas

Setiap anggota tim Customer Service memiliki kapasitas maksimal bekerja selama 480 menit per hari.

Setelah menghitung waktu yang dibutuhkan untuk setiap aktivitas, total waktu kerja harian per anggota tim mencapai 540 menit, yang terdiri dari 300 menit untuk live chat, 150 menit untuk email, 60 menit untuk menindaklanjuti keluhan, dan 30 menit untuk laporan.

Dengan total kebutuhan waktu yang melebihi kapasitas harian, yaitu 9 jam dibandingkan 8 jam, jelas bahwa beban kerja yang ada terlalu tinggi dan perlu penyesuaian.

Penyesuaian dan Rekomendasi

Berdasarkan hasil analisis, terdapat beberapa rekomendasi untuk menyeimbangkan beban kerja tim.

Salah satu solusinya adalah menambah satu anggota baru dalam tim.

Dengan penambahan ini, rata-rata beban kerja per anggota tim akan berkurang menjadi 7,5 jam per hari, yang lebih sesuai dengan kapasitas harian mereka.

Selain itu, pemanfaatan teknologi seperti chatbot dapat membantu menangani pertanyaan dasar dari pelanggan.

Jika 20% dari aktivitas live chat dapat dialihkan ke chatbot, waktu yang dibutuhkan untuk live chat akan berkurang menjadi 240 menit per hari.

Dengan demikian, total waktu harian per anggota menjadi sesuai dengan kapasitas yang ada.

Pelatihan tambahan juga dapat diberikan kepada anggota tim untuk meningkatkan efisiensi mereka dalam menangani email dan keluhan pelanggan, misalnya dengan menyediakan template jawaban yang lebih terstruktur dan mudah digunakan.

Hasil Akhir

Setelah dilakukan penyesuaian, beban kerja setiap anggota tim menjadi lebih seimbang, waktu kerja mereka digunakan secara optimal, dan pelanggan tetap mendapatkan layanan yang memadai.

Dengan analisis beban kerja ini, perusahaan dapat meningkatkan produktivitas tim tanpa menambah tekanan kerja yang berlebihan, sekaligus menjaga kualitas pelayanan pelanggan.

Baca Juga: Employer Branding: Arti, Contoh & Job Descnya!

Metode dalam Workload Analysis

Dalam praktiknya, workload analysis yang efektif bukan sekadar menghitung berapa banyak pekerjaan yang ada dan membandingkannya dengan jumlah orang yang tersedia. Lebih dari itu, ia menggabungkan pendekatan kuantitatif yang mengandalkan angka dan statistik, pendekatan kualitatif yang menggali pemahaman mendalam dari perspektif manusia, serta kombinasi keduanya yang mampu mencerminkan kondisi riil organisasi. Namun, agar hasilnya valid dan relevan, proses ini harus dilakukan secara sistematis, mengikuti urutan langkah yang jelas. Setiap langkah tidak berdiri sendiri, melainkan membentuk rangkaian analisis yang saling menguatkan.

Identifikasi Task dan Proyek

Langkah pertama yang menjadi pondasi dari seluruh proses adalah mengidentifikasi semua tugas dan proyek yang ada di organisasi. Ini bukan sekadar membuat daftar to-do list, tetapi benar-benar memetakan aktivitas secara menyeluruh, lengkap dengan ruang lingkup (scope), tujuan yang ingin dicapai, serta keterkaitan antaraktivitas. Pada tahap ini, HR perlu cermat membedakan antara pekerjaan rutin, pekerjaan insidental, dan proyek strategis. Bahkan, tugas yang frekuensinya rendah pun tidak boleh diabaikan jika memiliki dampak besar terhadap stabilitas operasional atau pencapaian target bisnis. Misalnya, laporan tahunan hanya dibuat sekali setahun, namun proses penyusunannya mungkin membutuhkan koordinasi lintas departemen dan menyita sumber daya besar.

Proses identifikasi ini juga sebaiknya melibatkan pihak-pihak yang langsung menjalankan pekerjaan tersebut. Mereka sering kali memiliki perspektif lapangan yang lebih akurat ketimbang laporan di atas kertas. Dengan demikian, daftar yang dihasilkan bukan hanya formalitas administratif, tetapi benar-benar menjadi gambaran nyata beban kerja yang sedang dihadapi organisasi. Ini bukan pekerjaan sekali selesai. Daftar ini harus diperbarui secara berkala karena beban kerja organisasi bersifat dinamis, berubah mengikuti proyek baru, pergeseran strategi, atau perubahan struktur tim.

Tentukan Waktu dan Sumber Daya (Resources)

Setelah daftar tugas dan proyek disusun, langkah berikutnya adalah menentukan estimasi waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masing-masing tugas tersebut, sekaligus mengidentifikasi sumber daya yang diperlukan. Estimasi ini harus realistis dan mencakup seluruh elemen yang mempengaruhi durasi kerja. Artinya, bukan hanya menghitung waktu eksekusi inti, tetapi juga waktu yang dihabiskan untuk rapat koordinasi, komunikasi lintas tim, persiapan dokumen, troubleshooting, hingga pekerjaan penutup seperti follow-up dan dokumentasi.

Mengabaikan elemen-elemen ini sering kali membuat estimasi waktu menjadi terlalu optimis, sehingga berujung pada target yang tidak realistis dan tekanan berlebih pada karyawan. Selain waktu, sumber daya lain seperti tenaga kerja dengan keterampilan tertentu, perangkat teknologi, anggaran, atau bahkan dukungan administratif juga harus dicatat. Misalnya, proyek digital marketing memerlukan graphic designer, copywriter, platform iklan berbayar, dan data analitik. Tanpa mencatat sumber daya ini, HR tidak bisa melihat apakah beban kerja bisa diselesaikan dengan kapasitas yang ada atau perlu ada penambahan dukungan.

Analisis Alokasi Sumber Daya Saat Ini

Langkah ketiga adalah melihat bagaimana sumber daya yang ada saat ini didistribusikan. Analisis ini akan mengungkap apakah ada tim atau individu yang sudah kewalahan, siapa yang justru kurang diberi tugas, serta bagian mana yang mengalami ketidakseimbangan antara beban kerja dan kapasitas. Ketidakseimbangan ini sering menjadi penyebab produktivitas menurun, meskipun di atas kertas jumlah orang sudah dianggap cukup.

Dalam organisasi yang kompleks, ketimpangan ini tidak selalu terlihat jelas tanpa analisis yang sistematis. Bisa jadi satu tim terlihat sibuk setiap hari, namun sebagian besar waktunya tersita untuk pekerjaan administratif yang berulang, bukan pekerjaan bernilai strategis. Sementara tim lain terlihat lebih santai, tetapi mengerjakan proyek bernilai tinggi yang membutuhkan kreativitas dan ketelitian tingkat tinggi. Dengan memahami distribusi ini, HR dapat mengidentifikasi titik-titik rawan yang membutuhkan intervensi, baik dalam bentuk redistribusi beban kerja, penambahan tenaga, atau penyesuaian target.

Penyesuaian dan Pengoptimalan

Tahap ini adalah momen di mana data yang terkumpul mulai diterjemahkan menjadi tindakan nyata. Berdasarkan hasil analisis, HR dapat melakukan penyesuaian pada alokasi tugas, mengubah prioritas pekerjaan, mengalokasikan anggaran secara lebih tepat, atau memperkenalkan teknologi dan alat bantu yang dapat meringankan beban kerja. Misalnya, jika ditemukan bahwa bagian administrasi menghabiskan waktu berjam-jam untuk input data manual, solusi yang masuk akal adalah mengimplementasikan sistem otomasi entri data.

Penyesuaian ini tidak boleh dilakukan secara sepihak. Kunci keberhasilannya ada pada komunikasi yang transparan kepada seluruh tim. HR harus menjelaskan alasan di balik perubahan, manfaat yang diharapkan, dan bagaimana perubahan itu akan diimplementasikan. Dengan keterbukaan ini, potensi resistensi dari karyawan dapat ditekan, dan mereka justru bisa menjadi bagian dari proses perbaikan. Setelah penyesuaian dilakukan, pemantauan berkala menjadi penting untuk memastikan bahwa perubahan yang dilakukan benar-benar membawa dampak positif, bukan sekadar memindahkan masalah dari satu bagian ke bagian lain.

Memperhatikan Utilization Rate dan Ketersediaan

Selain melihat beban kerja secara umum, HR juga perlu memantau utilization rate, yaitu persentase waktu kerja yang digunakan karyawan untuk aktivitas produktif dibandingkan total waktu kerja yang tersedia. Angka ini dapat menjadi indikator apakah karyawan terlalu sibuk, kekurangan pekerjaan, atau berada pada titik optimal produktivitas. Utilization rate yang terlalu tinggi dalam jangka panjang dapat memicu burnout, sementara angka yang terlalu rendah menandakan sumber daya tidak dimanfaatkan dengan efektif.

Pemantauan ini tidak hanya mencakup waktu, tetapi juga ketersediaan keterampilan. Seorang karyawan mungkin punya waktu luang, tetapi tidak memiliki keterampilan yang sesuai untuk mengerjakan pekerjaan tertentu. Dalam kondisi ini, solusi bukan hanya menambah tugas, tetapi juga meningkatkan kapabilitas mereka melalui pelatihan atau reskilling. Dengan begitu, beban kerja dapat didistribusikan lebih merata sekaligus meningkatkan fleksibilitas organisasi dalam menghadapi perubahan permintaan kerja.

Evaluasi Secara Berkala

Banyak organisasi melakukan workload analysis hanya ketika masalah sudah muncul, seperti tingkat turnover tinggi atau penurunan produktivitas. Padahal, analisis ini seharusnya menjadi proses berkelanjutan yang dilakukan secara terjadwal, misalnya setiap kuartal atau setiap kali ada perubahan besar dalam struktur organisasi dan strategi bisnis. Dengan evaluasi berkala, HR dapat mendeteksi tren perubahan beban kerja sejak dini, sebelum masalah membesar.

Evaluasi ini juga memungkinkan organisasi menyesuaikan strategi kerja dengan kondisi yang terus berkembang. Misalnya, proyek besar yang awalnya membutuhkan banyak tenaga kerja mungkin sudah memasuki tahap akhir yang lebih ringan. Tanpa evaluasi, tim tersebut mungkin tetap mempertahankan jumlah orang yang sama, padahal bisa dialihkan untuk membantu proyek lain. Dengan kata lain, evaluasi berkala adalah cara memastikan bahwa workload analysis benar-benar menjadi alat strategis yang dinamis, bukan laporan statis yang hanya dibaca sekali lalu dilupakan.

Baca Juga: 10+ Fungsi Sertifikat BNSP Yang Kegunaannya Sering Dicari

Cara Kerja Workload Analysis (WLA)

Dalam dunia kerja modern, keseimbangan antara kapasitas karyawan dengan beban kerja yang ditugaskan padanya menjadi kunci bagi produktivitas dan kesejahteraan organisasi. Workload Analysis atau analisis beban kerja adalah proses sistematis untuk memahami apakah suatu posisi kerja memiliki beban yang terlalu berat, terlalu ringan, atau sudah proporsional.

Proses ini tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Ia membutuhkan data, pengamatan, validasi lapangan, serta kemampuan untuk menerjemahkan angka menjadi strategi yang bisa diterapkan. Berikut cara kerja Workload Analysis yang umum dilakukan oleh organisasi yang serius membangun sistem kerja yang sehat.

1. Identifikasi Unit Kerja yang Akan Dianalisis

Langkah pertama dimulai dengan menentukan siapa yang akan menjadi subjek analisis. Dalam hal ini, HR bersama pimpinan biasanya menetapkan unit kerja atau jabatan yang mengalami kendala seperti overload pekerjaan, peningkatan tingkat lembur, rendahnya produktivitas, atau bahkan tingginya tingkat turnover.

Bisa juga dilakukan untuk seluruh bagian organisasi, namun itu memerlukan sumber daya besar. Maka pendekatan prioritas biasanya lebih efektif. Misalnya, jika bagian layanan pelanggan mulai menunjukkan penurunan kepuasan pelanggan dan keluhan internal meningkat, bagian ini menjadi kandidat kuat untuk dilakukan WLA. Kejelasan dalam memilih unit kerja ini penting, karena akan menentukan arah dan fokus dari keseluruhan proses analisis.

2. Pengumpulan Data Aktivitas Kerja

Setelah unit kerja ditentukan, maka proses berikutnya adalah mengidentifikasi dan mengumpulkan semua aktivitas yang dilakukan oleh posisi tersebut. HR dan analis beban kerja akan mencatat jenis pekerjaan yang dilakukan setiap hari, mingguan, bulanan, bahkan tahunan.

Data ini bisa diambil dari dokumen SOP (Standard Operating Procedures), job description, wawancara dengan pemegang jabatan, serta observasi langsung di lapangan. Kadang, daftar aktivitas yang tertulis dalam dokumen tidak sepenuhnya sesuai dengan realitas. Oleh karena itu, konfirmasi terhadap aktivitas aktual menjadi penting. Karyawan bisa diminta mencatat aktivitasnya secara harian selama seminggu penuh agar terlihat gambaran nyata tentang pekerjaan mereka.

Hal ini membuka banyak wawasan, terutama jika ada aktivitas tidak resmi atau beban tambahan yang tidak pernah tercantum dalam deskripsi kerja formal.

3. Pengukuran Waktu Standar Pekerjaan

Tahap ini merupakan inti dari WLA karena menyangkut pengukuran waktu ideal yang dibutuhkan untuk menyelesaikan setiap jenis pekerjaan. Dalam istilah teknis, ini disebut waktu baku atau waktu standar. Pengukuran ini bisa dilakukan dengan metode time study, yaitu mencatat waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu tugas dari awal hingga selesai dalam kondisi kerja normal.

Dalam kondisi tertentu, metode sampling bisa digunakan, di mana pengamatan dilakukan secara acak dan berkala untuk mendapatkan gambaran waktu rata-rata. Hasilnya harus divalidasi agar sesuai dengan realita kerja. Misalnya, dalam pekerjaan administrasi kepegawaian, waktu untuk menginput satu data absensi bisa dihitung dalam hitungan menit. Sedangkan membuat laporan rekapitulasi bulanan mungkin memakan waktu lebih lama. Pengukuran ini harus dilakukan dengan akurat dan tidak boleh berdasarkan asumsi saja.

4. Perhitungan Beban Kerja Aktual

Setelah waktu standar diperoleh, langkah selanjutnya adalah menghitung beban kerja aktual. Proses ini biasanya menggunakan rumus dasar: jumlah aktivitas dikalikan dengan waktu standar, lalu dibandingkan dengan waktu kerja yang tersedia dalam satu periode tertentu.

Misalnya, jika satu karyawan memiliki waktu kerja efektif 140 jam per bulan, lalu dari perhitungan aktivitas ditemukan bahwa pekerjaan yang harus ia selesaikan membutuhkan 182 jam, maka jelas terlihat ada kelebihan beban kerja sebesar 42 jam. Angka ini lalu dikonversi dalam bentuk rasio untuk memudahkan evaluasi. Rasio di atas 1,0 artinya beban kerja berlebih. Sebaliknya, rasio di bawah 1,0 menunjukkan potensi kekosongan kerja atau underutilized. Evaluasi ini menjadi dasar pengambilan keputusan manajerial.

5. Evaluasi Keseimbangan Beban Kerja

Angka-angka yang muncul dari perhitungan bukan sekadar statistik. Ia harus dibaca dalam konteks organisasi. Jika beban kerja suatu unit melebihi kapasitas kerja yang tersedia secara signifikan dan berlangsung dalam jangka waktu lama, maka akan berdampak pada kelelahan karyawan, penurunan kualitas kerja, dan potensi burnout.

Di sisi lain, jika beban kerja terlalu ringan, maka terjadi inefisiensi biaya karena organisasi membayar orang untuk waktu yang tidak digunakan secara produktif. Di sinilah evaluasi keseimbangan kerja harus dilakukan dengan bijak. Tidak hanya melihat hitungan matematis, tetapi juga mendengarkan umpan balik karyawan, menilai kondisi psikologis, serta mempertimbangkan siklus bisnis organisasi.

6. Rekomendasi dan Tindak Lanjut

WLA tidak berhenti di laporan. Hasil analisis harus ditindaklanjuti dengan rekomendasi konkret. Jika beban kerja terlalu tinggi, mungkin solusinya adalah menambah SDM, membagi ulang tugas, melakukan outsourcing, atau mengubah proses kerja agar lebih efisien.

Jika beban kerja terlalu ringan, bisa dilakukan perancangan ulang jabatan, pelatihan lintas fungsi, atau penambahan tanggung jawab yang relevan. HR harus memastikan bahwa hasil analisis digunakan sebagai dasar keputusan organisasi, bukan sekadar laporan yang disimpan di laci.

Workload Analysis dalam Strategi HR

Dalam perspektif HR strategis, workload analysis (WLA) bukan sekadar alat ukur beban kerja, tetapi fondasi untuk mengarahkan strategi pengelolaan sumber daya manusia. Ia menjadi semacam “peta jalan” yang menunjukkan posisi organisasi saat ini dan memberi gambaran ke mana langkah harus diarahkan. Dengan informasi yang dihasilkan WLA, HR tidak lagi mengandalkan intuisi semata, tetapi dapat mengambil keputusan berbasis data yang konkret. Pendekatan ini membuat perencanaan tenaga kerja lebih akurat, pengembangan karyawan lebih tepat sasaran, pengelolaan kinerja lebih objektif, dan budaya kerja yang dibangun menjadi lebih sehat.

Perencanaan Tenaga Kerja

Workload analysis membantu HR memprediksi kebutuhan rekrutmen secara tepat, sehingga terhindar dari risiko overstaffing maupun understaffing. Overstaffing berarti perusahaan memiliki terlalu banyak tenaga kerja dibandingkan dengan volume pekerjaan yang ada, yang mengakibatkan pemborosan biaya gaji dan rendahnya utilization rate. Sebaliknya, understaffing membuat karyawan yang ada terbebani berlebihan, produktivitas menurun, dan risiko burnout meningkat.

Dengan WLA, HR dapat menganalisis tren beban kerja misalnya peningkatan permintaan layanan pelanggan saat musim liburan, atau lonjakan pekerjaan di divisi produksi ketika mendekati rilis produk baru. Informasi ini memungkinkan perusahaan melakukan rekrutmen sementara atau kontrak, alih-alih melakukan perekrutan permanen yang berpotensi menjadi beban jangka panjang. Bahkan, WLA dapat mengungkap bahwa beberapa kekurangan tenaga kerja dapat diatasi melalui redistribusi beban atau optimalisasi teknologi, bukan dengan menambah jumlah karyawan. Dengan demikian, strategi perencanaan tenaga kerja menjadi adaptif, efisien, dan tetap responsif terhadap kebutuhan bisnis.

Pengembangan Kompetensi dan Karier

WLA bukan hanya tentang jumlah pekerjaan dan orang yang mengerjakannya, tetapi juga tentang kesesuaian kompetensi. Melalui analisis ini, HR dapat menemukan celah keterampilan yang menjadi hambatan kinerja. Misalnya, sebuah tim pemasaran mungkin memiliki beban kerja tinggi dalam pembuatan content marketing, namun hanya sebagian kecil anggota tim yang menguasai SEO atau desain grafis. Akibatnya, pekerjaan terpusat pada orang yang memiliki keterampilan tersebut, yang pada gilirannya membuat beban mereka jauh lebih berat.

Dengan temuan ini, HR dapat merancang program pelatihan yang relevan, bukan sekadar pelatihan umum yang tidak menyentuh akar masalah. Lebih jauh, informasi dari WLA juga dapat digunakan untuk merencanakan jalur karier karyawan. Misalnya, karyawan yang menunjukkan potensi memimpin proyek besar dapat diarahkan ke pelatihan manajerial dan diberikan proyek dengan beban kerja yang proporsional untuk mengasah kemampuan mereka. Dengan cara ini, WLA menjadi instrumen pengembangan talenta yang bukan hanya bermanfaat untuk menyelesaikan pekerjaan saat ini, tetapi juga membangun kekuatan organisasi di masa depan.

Pengelolaan Kinerja yang Lebih Adil

Salah satu tantangan terbesar dalam manajemen kinerja adalah menentukan apakah kinerja rendah disebabkan oleh faktor individu atau sistem kerja yang tidak mendukung. Tanpa data yang jelas, manajer sering kali menyalahkan karyawan ketika target tidak tercapai, padahal akar masalahnya adalah beban kerja yang tidak realistis.

WLA memisahkan kedua faktor ini dengan gamblang. Misalnya, dua karyawan di divisi yang sama memiliki hasil yang berbeda. Melalui WLA, HR mungkin menemukan bahwa karyawan dengan kinerja lebih rendah ternyata menangani lebih banyak pekerjaan yang bersifat kompleks dan memakan waktu dibandingkan rekan kerjanya. Dalam kasus ini, masalahnya bukan pada kemampuan, melainkan pada distribusi tugas. Sebaliknya, jika beban kerja relatif seimbang tetapi hasil tetap rendah, barulah HR dapat mempertimbangkan intervensi berupa pelatihan, pembinaan (coaching), atau evaluasi kinerja individu. Pendekatan ini memastikan bahwa evaluasi kinerja dilakukan secara fair dan berbasis fakta, bukan persepsi.

Penghematan Biaya dan Budaya Sehat

WLA yang akurat memberikan dampak langsung pada efisiensi biaya. Dengan mengetahui beban kerja secara presisi, perusahaan dapat menghindari perekrutan yang tidak perlu atau memperpanjang kontrak karyawan yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Dana yang dihemat dari efisiensi ini dapat dialihkan ke program yang meningkatkan produktivitas, seperti pelatihan, modernisasi teknologi, atau peningkatan fasilitas kerja.

Selain itu, distribusi beban kerja yang seimbang berperan besar dalam membangun budaya kerja yang sehat. Karyawan merasa dihargai ketika tugas mereka realistis dan sesuai kapasitas, sehingga motivasi kerja meningkat. Lingkungan kerja yang tidak membebani secara berlebihan juga mengurangi risiko burnout, menekan tingkat turnover, dan mendorong loyalitas. Dalam jangka panjang, budaya kerja sehat ini menjadi keunggulan kompetitif organisasi menarik talenta terbaik dan menjaga stabilitas tim inti yang sudah berpengalaman.

Tips Praktis untuk HR dalam Melakukan Workload Analysis

HR tidak cukup hanya mengerti metode WLA dari sisi teknis, tetapi juga harus memahami dinamika manusia di balik angka-angka yang muncul. Berikut ini adalah kiat-kiat praktis bagi para profesional HR agar Workload Analysis bisa memberikan dampak maksimal dan tidak sekadar formalitas.

1. Libatkan Karyawan sebagai Mitra, Bukan Objek

Sering kali dalam pelaksanaan WLA, HR terlalu dominan dalam mengambil kesimpulan sendiri. Padahal, yang paling tahu bagaimana pekerjaan dijalankan adalah karyawan itu sendiri.

Dengan melibatkan mereka dalam proses wawancara, diskusi, dan validasi data, HR bukan hanya mendapat informasi yang lebih akurat, tetapi juga membangun rasa kepemilikan dan kepercayaan. WLA yang dilakukan secara partisipatif akan lebih diterima hasilnya oleh semua pihak.

2. Pahami Beban Psikologis, Bukan Sekadar Beban Fisik

Banyak pekerjaan yang secara kuantitatif terlihat ringan, namun secara emosional sangat menguras energi. Contohnya adalah posisi customer service, HR industrial relation, atau bagian pengaduan pelanggan.

HR perlu menambahkan elemen evaluasi psikososial dalam WLA, seperti survei tingkat stres, kepuasan kerja, dan potensi burnout. Beban kerja tidak hanya soal durasi, tapi juga soal intensitas emosi yang dikeluarkan.

3. Gunakan Teknologi untuk Meningkatkan Akurasi

Dalam era digital, tidak ada alasan bagi HR untuk tetap menggunakan kertas dan excel manual dalam mengukur beban kerja. Banyak aplikasi HRIS yang kini sudah menyediakan fitur pengukuran beban kerja berbasis aktivitas dan produktivitas.

Platform seperti Trello, ClickUp, atau software ERP terintegrasi bisa menjadi sumber data kerja yang kaya. Dengan memanfaatkan data ini, HR bisa melakukan analisis lebih cepat dan presisi, serta mempercepat proses pengambilan keputusan.

4. Lakukan Pemutakhiran Data Secara Berkala

Salah satu kesalahan terbesar dalam WLA adalah memperlakukan analisis sebagai kegiatan satu kali. Beban kerja bersifat dinamis. Bisa bertambah karena adanya proyek baru, bisa juga menurun karena proses otomatisasi.

Oleh karena itu, HR perlu menjadwalkan WLA secara berkala, idealnya setiap tahun atau setiap kali terjadi perubahan besar dalam sistem kerja, struktur organisasi, atau volume pekerjaan.

5. Validasi Setiap Temuan di Lapangan

Asumsi adalah musuh terbesar dari analisis beban kerja. Banyak keputusan keliru yang diambil karena data yang digunakan tidak divalidasi dengan kondisi nyata di lapangan. Jika WLA menunjukkan bahwa suatu pekerjaan bisa diselesaikan dalam waktu 15 menit, HR perlu turun langsung untuk mengamati apakah itu realistis.

Apakah ada hambatan proses? Apakah sistemnya sudah mendukung? Validasi ini adalah kunci agar hasil analisis benar-benar dapat diandalkan.

6. Sajikan Laporan WLA dalam Bahasa yang Dimengerti Pimpinan

Laporan teknis yang terlalu kaku dan penuh angka sering kali tidak dipahami oleh pimpinan. HR perlu menyajikan hasil WLA dalam bentuk narasi yang mudah dicerna: seperti ringkasan visual, rasio efisiensi, dan dampaknya terhadap hasil kerja.

Misalnya, bukan hanya menyebutkan bahwa beban kerja unit A adalah 130%, tetapi menjelaskan bahwa karyawan di unit tersebut bekerja 2 jam lembur setiap hari, yang berdampak pada peningkatan keluhan internal dan penurunan kualitas output.

7. Jadikan WLA sebagai Dasar Strategi, Bukan Hanya Administrasi

Terakhir, HR harus melihat WLA bukan sebagai tugas pelaporan atau administrasi, melainkan sebagai instrumen strategis. Hasil WLA bisa digunakan untuk perencanaan kebutuhan tenaga kerja, penyusunan anggaran rekrutmen, redesign organisasi, hingga rencana pelatihan dan pengembangan.

Jika digunakan dengan tepat, WLA menjadi jembatan antara kapasitas manusia dan tujuan bisnis jangka panjang.

Implikasi Praktis dan Tantangan

Workload analysis (WLA) dapat menjadi alat transformasi organisasi yang luar biasa jika diintegrasikan dengan hati-hati dan konsisten ke dalam manajemen SDM. Ia bukan sekadar laporan yang disusun untuk memenuhi kepentingan administrasi, melainkan mekanisme strategis yang mampu mengubah cara organisasi mengelola beban kerja, merencanakan tenaga kerja, dan mengembangkan talenta. Namun, keberhasilan penerapan WLA sangat ditentukan oleh bagaimana HR mengatasi tantangan-tantangan yang muncul di lapangan. Tantangan ini sering kali bersifat sistemik dan memerlukan pendekatan yang komprehensif, mulai dari penyediaan data yang akurat, mengelola resistensi internal, memastikan keterkaitan dengan kebijakan SDM, hingga membangun kemampuan adaptasi terhadap perubahan yang dinamis.

Hambatan Data dan Praktik Pencatatan

Kualitas hasil WLA sangat bergantung pada kualitas data yang digunakan. Data yang tidak lengkap, tidak konsisten, atau bahkan keliru dapat membuat hasil analisis menyesatkan. Inilah sebabnya mengapa banyak organisasi yang gagal memanfaatkan WLA secara maksimal karena pondasi datanya rapuh. Misalnya, jika pencatatan jam kerja karyawan tidak akurat atau laporan tugas tidak mencerminkan pekerjaan sebenarnya yang dilakukan, maka analisis beban kerja yang dihasilkan tidak akan sesuai dengan realitas lapangan.

Untuk mengatasi ini, organisasi perlu membangun sistem pencatatan beban kerja yang rapi, scalable, dan terintegrasi dengan sistem manajemen SDM lainnya. Sistem ini tidak hanya mencatat jam kerja, tetapi juga kompleksitas tugas, frekuensi pekerjaan, dan tingkat urgensinya. Investasi dalam perangkat lunak manajemen proyek atau workforce management system menjadi langkah strategis. Dengan data yang terstruktur, HR dapat melakukan analisis dengan presisi tinggi dan menghasilkan rekomendasi yang benar-benar relevan.

Resistensi terhadap Perubahan

Salah satu hambatan terbesar dalam implementasi WLA adalah resistensi dari dalam organisasi sendiri. Karyawan mungkin khawatir bahwa hasil analisis akan digunakan untuk mengurangi jumlah staf, meningkatkan target kerja, atau membatasi fleksibilitas mereka. Di sisi lain, manajer mungkin merasa WLA mengancam otoritas mereka dalam membagi pekerjaan kepada tim.

Mengatasi resistensi ini memerlukan komunikasi yang jelas, transparan, dan konsisten. HR harus mampu menjelaskan bahwa tujuan WLA bukan untuk memberatkan atau mengancam, melainkan untuk menciptakan distribusi beban kerja yang adil dan berkelanjutan. Keterlibatan karyawan dalam proses pengumpulan data dan diskusi hasil analisis dapat meningkatkan rasa memiliki terhadap inisiatif ini. Ketika karyawan melihat bahwa WLA digunakan untuk mengurangi beban yang berlebihan, meningkatkan efisiensi kerja, dan mendukung kesejahteraan mereka, resistensi pun akan berkurang secara alami.

Keterhubungan dengan Kebijakan SDM

Hasil WLA akan kehilangan nilainya jika hanya berhenti sebagai laporan analisis di meja HR. Agar berdampak nyata, temuan-temuan dari WLA harus diterjemahkan menjadi kebijakan dan tindakan konkret yang mempengaruhi seluruh siklus manajemen SDM. Misalnya, jika WLA menunjukkan adanya beban kerja berlebih di satu divisi, maka hal ini harus segera ditindaklanjuti dengan penyesuaian target, redistribusi tugas, atau rekrutmen tambahan.

Selain itu, WLA dapat menjadi dasar bagi perancangan program pelatihan, evaluasi kinerja yang lebih adil, bahkan perencanaan suksesi kepemimpinan (succession planning). Integrasi ini menciptakan kesinambungan antara analisis beban kerja dengan strategi pengembangan talenta, sehingga organisasi tidak hanya mengelola pekerjaan hari ini tetapi juga mempersiapkan kapasitas kerja untuk masa depan.

Adaptasi dalam Lingkup Dinamis

Beban kerja organisasi bukanlah sesuatu yang statis. Ia terus berubah mengikuti dinamika pasar, perkembangan teknologi, perubahan strategi bisnis, dan faktor eksternal lainnya. Oleh karena itu, WLA tidak boleh dianggap sebagai kegiatan sekali jadi, melainkan sebagai proses berulang yang menjadi bagian dari budaya kerja organisasi.

Melakukan WLA secara berkala misalnya setiap kuartal atau setiap kali ada perubahan signifikan dalam portofolio proyek memastikan bahwa organisasi selalu memiliki gambaran terbaru tentang distribusi beban kerja. Dengan pendekatan ini, WLA dapat berfungsi layaknya early warning system yang memberi sinyal dini jika ada tanda-tanda kelebihan beban, kekurangan kapasitas, atau ketidakseimbangan antar tim. Kemampuan adaptasi ini bukan hanya menjaga produktivitas, tetapi juga memastikan keberlangsungan bisnis dalam menghadapi perubahan yang cepat dan tak terduga.

workload analysis

Di tengah dinamika bisnis yang semakin cepat, workload analysis bukan lagi pilihan tambahan, tetapi kebutuhan strategis. Banyak organisasi yang masih mengandalkan intuisi untuk mengukur beban kerja, padahal keputusan yang berbasis data jauh lebih akurat dan berkelanjutan. Keseimbangan beban kerja bukan hanya soal produktivitas, tetapi juga menyangkut kesejahteraan karyawan, retensi talenta, dan efisiensi biaya.

Jika Anda ingin memastikan bahwa tim bekerja pada kapasitas optimal, memiliki motivasi tinggi, dan tidak terbebani secara berlebihan, inilah saatnya mengintegrasikan workload analysis ke dalam strategi HR Anda. Magnet Solusi Integra siap membantu Anda merancang workload analysis yang sesuai kebutuhan organisasi, menyusunnya dalam format profesional, dan memandu penerapannya secara efektif. Hubungi kami sekarang, dan biarkan data yang berbicara dalam membentuk masa depan produktivitas perusahaan Anda.

Picture of Dra. I. Novianingtyastuti, M.M., Psikolog  <strong>CEO</strong>
Dra. I. Novianingtyastuti, M.M., Psikolog CEO

Praktisi HR dengan pengalaman lebih dari 20+ tahun di bidang rekrutmen dan pengembangan SDM.

Artikel terbaru

#ElevatingPeopleEmpoweringBusiness

Konsultasi HR yang Tepat Sekarang, Gratis!

Bangun sistem SDM yang efektif, adil, dan berdampak bersama tim konsultan berpengalaman dari Magnet Solusi Integra.

Atau booking meeting gratis via Form Booking Meeting